AyankMams

AyankMams

Jumat, 03 September 2010

Diplomasi “Memble” ala Pemerintah

Oleh Imam Solehudin

Minggu ini berita di seluruh harian nasional mengupas isu yang hamper sama, yakni soal ketegangan hubungan Indonesia- Malaysia. Aksi Demonstrasi yang dilakukan masa bebebrapa waktu lalu di depan kedutaan besar Malaysia membuat hubungan dua negara teangga itu kembali memanas. Seperti yang diberitakan masa melempari kedubes Malaysia, sebagai bentuk kekecewaan terhadap tindakan sewenang-wenang aparat negeri Jiran yang menangkap dua petugas DKP.

Sayang, sikap pemerintah kita justru berbanding terbalik dengan rakyat. SBY lewat pidato kenegaraannya kembali memeperlihatkan ketidaktegasannya sebagai pemimpin bangsa. Lewat pidatonya, SBY seolah-olah takut bila kita memutuskan hubungan dengan Malaysia. Salah satu alasannya karena keberadaan para TKI yang jumlahnya lebih dari 2 juta jiwa mengais rejeki disana. Bila melihat dari perspektif lain, justru ini yang menjadi senjata kita untuk mengancam Malaysia. Bayangkan saja, jika seluruh TKI ditarik oleh pemerintah, bisa dipastikan mereka akan kelabakan. Proses pembangunan infrastruktur dipastikan akan terhambat, sebab mayoritas pekerjanya berasal dari Indonesia.

Presiden terkesan lembek dalam merespon tindakan Malaysia. Padahal, bukan kali ini saja mereka membuat ulah. Sudah sudah sering mereka menginjak-injak harga diri bangsa. Contoh konkretnya adalah bagaimana nasib para TKW yang mengalami tindak kekerasan. Berapa banyak dari mereka yang hingga kini proses hukumnya belum juga tuntas.

Diplomasi “memble” yang ditujukan pemerintah justru bukannya mendinginkan suasana, malah membuat rakyat kita semakin memanas. Rakyat menginginkan sikap yang tegas menyikapi persoalan ini. Bukan apa apa, sebab hal ini menyangkut persoalan kedaulatan bangsa. Bagaimana mungkin bangsa kita akan dihargai oleh negara lain, jika kedaulatan negera kita saja tidak dihormati..

Pemerintah nampaknya harus berkaca pada kepemimpinan Soekarno yang tegas. Ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia, dengan lantangya presiden pertama NKRI tersebut meneriakan slogan “Ganyang Malaysia”. Inilah bukti konkret seorang pemimpin yang begitu responsive dan reaktif terhadap persoalan bangsa. Seandainya saja Soekarno masih hidup, pastilah beliau akan tertawa melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini.

Selasa, 03 Agustus 2010

Kenakalan DPR (Yang Gak Pernah Abiz), “RUMAH ASPIRASI”
















Oleh Imam Solehudin

Membicarakan mengenai kelakuan anggota DPR memang tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada sisi menarik di setiap maneuver yang mereka lakukan, entah itu negative maupun positif. Baru-baru ini, sejumlah anggota dewan kembali menggulirkan sebuah wacana “Super Konyol”, bila dulu sempat mewacanakan “Dana ASPIRASI” (Fork Barel), kini mereka mengusulkan “Rumah Aspirasi”. Tujuannya, untuk menampung aspirasi para konstituen di daerah asal dewan. Dananya pun cukup fantastis, 200 juta rupiah per rumah. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah tepat kebijakan tersebut dalam menjaring aspirasi masyarakat?. Tidak adakah cara lain dalam menerima keluhan rakyat?. Bila parameter efektifitas, jelas “Rumah Aspirasi” bukanlah solusi tepat, karena masih ada yang lebih efektif yakni media.

Contohnya konkretnya Amerika Serikat, di negara yang dipimpin Barrack Obama tersebut, pemerintahannya memanfaatkan situs web sebagai tempat masyarakat menyampaikan keluh kesah. Melalui media internet, mereka bebas mengutarakan uneg-uneg terhadap pemerintah. Ini tentunya bisa dijadikan contoh oleh pemerintahan kita. Selain efektif, biaya yang dikeluarkan sangat murah. Memang, kelemahan dari sistem ini adalah tidak semua lapisan masyarakat bisa mengaksesnya, karena tidak meratanya tingkat penguasaan teknologi di negeri kita. Namun, masalah tersebut sebenarnya bisa diatasi. Bukankah dalam setiap periode terdapat apa yang dinamakan masa reses?. Pada momen inilah sebenarnya para anggota dewan menjaring aspirasi rakyat. Sayang, justru yang terjadi malah sebaliknya. Beberapa dari mereka malah ada yang bepergian ke luar negeri, kendati tidak jelas maksud dan tujuannya. Mereka berkilah dengan alasan study banding, padahal sebenarnya itu hanya sebuah kedok. Intinya para wakil rakyat itu malas untuk turun ke lapangan (masyarakat). Digaungkan lah usulan “Proyek Rumah Aspirasi”. Kalau seandainya jadi direalisasikan, berapa banyak kas negara yang dikeluarkan. Estimasinya, jumlah wakil rakyat sekarang adalah 560, jika dikalikan 200 juta maka total dana yang harus dikeluarkan berjumlah 112 Milliar. Dana sebesar itu sebaiknya dialokasikan terhadap sector-sektor lain yang memang membutuhkan semisal pendidikan.

Masalah selanjutya mengenai pengawasan terhadap dananya nanti. Apa betul-betul digunakan untuk membangun rumah yang katanya untuk rakyat? atau untuk proyek “sampingan” dewan?. Kekhawatiran masyarakat adalah dijadikannya kebijakan “Rumah Aspirasi” sebagai lahan korupsi. Sangat masu akal memang bila kita melihat track record sebagian anggota dewan saat ini. Hitung saja, berapa banyak dari mereka yang saat ini sedang menghadapi proses hukum. Belum lagi mengenai kredibilitas masyarakat yang cenderung mulai pesimis terhadap kinerja angggota dewan. Contohnya saja soal kehadiran para wakil rakyat, menurut data harian Kompas, prersentase tingkat kehadiran terus mengalami penurunan. Belum lagi Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang terancam tidak akan tercapai, karena hingga hari ini saja, jumlah RUU yang diselesaikan baru 7 dari yang dicanangkan sebelumnya sebanyak 70.

Sudah saatnya para anggota DPR melakukan Introspeksi diri terhadap kinerjanya. Apakah benar selama ini mereka telah menjalankan amanahnya dengan baik?. Janganlah membuat kebijakan yang justru hanya menambah panjang derita rakyat.

Sabtu, 31 Juli 2010

Mahasiswa Pembelajar



Oleh: Imam Solehudin

Andreas Harefa, dalam bukunya berjudul manusia pembelajar (Kompas, 2000) mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan tiga tugas pokok, yaitu menjadi seorang pembelajar yang terus menerus belajar di “sekolah besar” (kehidupan nyata), menjadi pemimpin sejati, dan menjadi guru bangsa bagi bangsannya.

Pendapat diatas sangat relevan bila dikaitkan dengan tugas seorang mahasiswa dalam membangun masyarakat. Setidaknya ada sebuah proses yang harus dilalui guna membentuk karakter insan akademis yang berjiwa sosial, sehingga mampu berkontribusi terhadap masyarakat.

Proses itu bernama pembelajaran, bagaimana seorang mahasiswa mampu mentransformasikan dirinya menjadi mahasiswa pembelajar. Maksudnya mereka tidak hanya belajar dari apa yang didapat dari bangku kuliah, tapi memiliki kesadaran untuk belajar dengan dunia luar, dalam hal ini apa yang disebut Andreas Harefa sebagai “sekolah besar” (masyarakat). Proses pemebelajaran di sekolah ini tidak akan pernah usai hingga akhir hayat. Sungguh disayangkan, saat ini masih banyak yang menganggap nilai akademis adalah segalanya, seolah IPK menjadi main goal (tujuan utama) dalam proses pendidikan. Munculah mahasiswa-mahasiswa individualistis dan tidak memiliki kepekaan sosial. Terbentuklah Mindset belajar yang hanya berorientasi pada bagaimana mendapat nilai tinggi dan kemudian mendapat pekerjaan layak. Ini berimplikasi terhadap proses pemebelajaran setelah lulus dari bangku kuliah. Bagi yang hanya berorientasi pada perburuan gelar akademis, ketika berhasil meraihnya, mereka akan beranggapan bahwa tugas belajar telah selesai. Sebuah gambaran realita yang tidak asing lagi tentunya. Ijazah sudah menjadi simbol, pertanda gugurnya kewajiban untuk belajar. Sadar atau tidak itulah yang terjadi sekarang.

Berbeda halnya dengan seorang mahasiswa pembelajar, tujuan utamanya adalah mendapat ilmu sebanyak mungkin untuk peningkatan kualitas hidup dirinya dan orang lain (masyarakat). Didalam dirinya sudah tertanam jiwa sosial yang tinggi. Jika pun telah lulus kuliah, mereka tidak akan berhenti belajar, sebab dalam proses pemebelajaran, tidak ada kata berhenti sepanjang denyut nadi masih berdetak. Justru ini langkah awal dalam mengimplementasikan ilmu yang didapat kepada masyarakat.

Tantangan terbesar terletak pada perguruan tinggi, bagaimana caranya mengarahkan mahasiswa untuk lebih sadar akan tugas dan tanggungjawabnya ,dengan kata lain menjadi mahasiswa pembelajar. Sistem pendidikan yang ada sekarang masih berkutat pada peningkatan askpek akademis saja (IQ). Padahal ada aspek yang jauh penting, yakni character building (pembangunan karakter).

Kekakuan sistem pendidikan perguruan tinggi saat ini, membuat mahasiswa seperti “burung beo”, pandai berucap namun tidak tahu maknanya. Kebebasan berkreatifitas seolah menjadi barang langka karena telah terkekang dengan doktrin-doktrin yang diberikan di bangku kuliah. Akibatnya mereka tidak bebas dalam berkreasi, bersekspresi, dan beraktualisasi.

Kamis, 29 Juli 2010

Anggota Dewan Titip Absen



Oleh Imam Solehudin
Penyelidikan yang dilakukan Badan Kehormatan (BK) DPR terkait ulah anggota dewan yang “titip absen”, menjadi sebuah pertanda akan buruknya kinerja anggota dewan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya seperti pengumuman kepada publik, tren “titip absen” masih menjadi tradisi yang sulit dihilangkan.
Wajah lembaga eksekutif negara ini mulai tercoreng, akibat kelakuan para anggotanya. Tingkat kredibilitas masyarakat terhadap mereka semakin menurun. Salah seorang anggota fraksi Golkar, Jefry Geovany, seperti yang diberitakan salah satu media cetak nasional, dilaporkan tidak mengikuti sidang sebanyak enam kali. Inilah akibatnya bila masyarakat tidak cermat dalam memilih wakil rakyat.
Entah sampai kapan tabiat buruk ini akan hilang…….
Wahai para wakil rakyat,
SADARLAH…kalian memikul amanat yang besar
SADARLAH…Akan tiba dimana masa pertanggungjawabab kalian
SADARALAH..Kekuasaan yang kini diemban akan sirna

Senin, 26 Juli 2010

Ulah “NAKAL” DPR



Oleh Imam Solehudin
Kelakuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat lagi-lagi sangat mengecewakan. Setelah tercoreng akibat beberapa skandal, kali ini para legislator itu tengah disorot mengenai tingkat kedisiplinan yang “memble”. Rasanya benar apa yang dikatakan oleh alm mantan presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur,) mengenai anggota DPR yang disebutnya sebagai perkumpulan anak-anak TK. Yang tak pernah dewasa, dalam bersikap, yang tak pernah sadar akan amanah yang dipegangnya. Beradasarkan laporan kerumahtanggaan DPR mengenai tingkat kehadiaran anggota dewan, ditemukan bahwa sebagian besar anggota sering membolos dalam rapat, tanpa alasan yang jelas. Untuk itulah, DPR mewacanakan untuk menggunakan system absen fingerprint dalam melakukan absensi. Jelas, ini menunjukan bahwa kinerja para legislator kita bisa dikatakan “memble”. Kalau mereka sadar, sebenarnya tak perlu system itu diterapkan. Self Awareness akan seorang wakil rakyat nampaknya mulai luntur, mungkin karena saking nikmatnya fasilitas seorang dewan, atau karena sibuk menangani proyek ”dadakan” untuk mengejar biaya selama kampanye dulu. Patut dipertanyakan memang, karena hingga hari ini, kinerja mereka belum memuaskan. Yang ada malah penurunan tingkat kepercayaan masyarakat. Hasil salah satu survey harian nasional mengungkapkan bahwa masyarakat mulai pesimis dengan komitmen anggota dewan sekarang. Kasus bank century misalnya, penyelesaian kasus yang merugikan negara hingga 6,7 truliun itu kembali “mengambang”, padahal keputusan DPR telah bulat bahwa kebijakan bailout melanggar hukum. Belum lagi soal program legislasi nasional (prolegnas) yang mandet ditengah jalan. Anehnya, jika mereka memabahas mengenai kebijakan yang UUD (ujung-ujungnya DUIT), semangatnya begitu menggebu-gebu. Lihat saja saat beberapa waktu yang lalu membahas mesalah aspirasi, salah satu fraksi bahkan sangat ngotot untuk menggolkan kebijakan yang juga disebut fork barrel (genting babi) itu. Kemanakah mereka?Entahlah, disaat rakyat menderita dengan tingginya harga bahan pokok, ledakan tabung gas yang kian marak, mereka malah melakukan tindakan yang sungguh tidak mencerminkan sebagai seorang pelayan rakyat.

Jumat, 23 Juli 2010

Refleksi HARI ANAK NASIONAL…..



Oleh Imam Solehudin

Potret anak Indonesia selalu menampilkan wajah yang berlainan, di satu sisi, kesejahteraan calon tunas bangsa itu diselimuti kekhwatiran. Indikatornya dapat terlihat dari jumlah anak putus sekolah yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Padahal aspek pendidikan sangat berpengaruh terhadap masa depan mereka. Keterbatasan ekonomi menjadi penyebab nomor wahid, mereka tak kuat dengan biaya sekolah yang mencekik. Alih-alih sekolah, mereka lebih memilih “terjun” ke jalanan untuk mencari nafkah, entah itu mengamen ataupun meminta-minta. Mungkin bagi anda yang tinggal di kota-kota besar, pemandangan para anak jalanan menjadi suatu hal yang lumrah. Sebagai contoh kota Bogor, hamper disetiap pertigaan jalan utama, pengemis, gelandangan, dan pengamen selalu menghiasi sepanjang jalan. Kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja, karena apa yang dilakukan oleh mereka memang sangat berasalan, yakni menyambung hidup. Pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar terhadap nasib mereka. Pasal 34 dalam UUD 1945 mengatakan bahwa, “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negera”. Sayang, implementasinya sangat jauh dari kata berhasil. Yang terjadi justru adalah penelantaran. Soal anak jalanan misalnya, upaya yang dilakukan sejauh ini kurang efektif, hanya semacam shock therapy seperti razia. Tindakan-tindakan yagn bersifat mentorship (pembinaan) masih minim. Jika pun dilakukan pembinaan, hanya sekedar penyuluhan sehingga setelah itu mereka kembali lagi kejalan. Hal tersebut terus berulang-ulang sampai sekarang. Seharusnya, pemerintah dalam hal ini departemen social, mengubah pola pembinaan bagi anak jalanan. Harus diupayakan long term mentorship (pembinaan jangka panjang) agar ketika mereka selesai dibina, mereka tidak turun kembali ke jalan. Semoga dengan peringatan anak untuk kesekian kalinya, para tunas bangsa Indonesia bisa lebih baik, terutama dalam pendidikan

Jumat, 16 Juli 2010

Pemerintah “Perpanjang” Derita Rakyat




Oleh: Imam Solehudin

Setelah pemerintah menaikan tarif dasar listrik (TDL), kini rakyat kembali menanggung derita. Menjelang memasuki bulan ramadhan harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang cukup mencekik Berdasarkan data kompas senin (12/7) kemarin, harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak, telur, dan sayuran naik bervariasi, mulai dari 40%-100%. Persoalan mengenai hal ini sudah seperti tradisi. Entah kenapa, di setiap memasuki bulan ramadhan harga-harga kebutuhan pokok selalu naik drastis. Pemerintah selalu “kesiangan” dalam mengantisipasi kenaikan kebutuhan pokok, terlebih saat memasuki bulan ramdadhan. Antisipasi yang dilakukan pemerintah dalam mengontrol harga pasar belum efektif. Terbukti, harga-harga kebutuhan pokok bervariasi di setiap daerah. Tak pelak ini membuat derita rakyat semakin berkepanjangan. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akan berdampak besar terhadap masyarakat ekonomi menengah kebawah. Daya beli masyarakat dipastikan akan menurun karena tingginya harga bahan pokok. Pemerintah terkesan seperti berpangku tangan melihat kondisi seperti ini, mereka kurang reaktif dalam melihat realita yang terjadi sekarang. Sampai kapan rakyat menanggung derita?. . Rasanya penderitaan rakyat tidak pernah berakhir. Masih hangat di benak kita, ledakan tabung gas yang terjadi berbagai daerah di tanah air. Belum sempat menghela nafas, mereka harus kembali dihadapkan pada persolalan yang berat.
Wahai para wakil rakyat!
Para Pejabat!
Sampai kapan penderitaan rakyat mu ini akan berakhir?, Kami merindukan janji-janji manismu ketika berkampanye dulu. Kami merindukan kobaran semangat mu ketika berorasi. Kami merindukan realisasi visi misi saudara……………
Mana Janjimu???????????

Kamis, 15 Juli 2010

Perpeloncoan…..


Oleh: Imam Solehudin
Tahun ajaran baru. Sebuah momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap siswa. Seragam baru, buku baru, dan sejumlah hal-hal lainnya selalu identik dengan tahun ajaran baru. Khusus bagi mereka yang beralih jejang sekolah, entah itu sd, smp, atapun sma, ada semacam tradisi pengenalan sekolah, atau lazim disebut Masa Orientasi Siswa (MOS). Kita tentu sering melihat, seorang siswa mengenakan perlengkapan sekolah yang tidak seperti biasanya, seperti tali sepatu yang terbuat dari rafia, rambut yang diikat dengan pita berwarna-warni bagi siswi, bahkan tas dari karung beras, bisa dipastikan mereka sedang menjalani MOS. Tradisi yang diberlakukan di hampir setiap sekolah ini sebenarnya sangat bagus terhadap siswa-siswi baru, terutama untuk proses adaptasi terhadap sekolah dan teman baru. Melalui MOS, mereka bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Biasanya kegiatan MOS lebih ditikberatkan pada membangun chemistry antara sesama siswa baru, serta dengan siswa lama (senior).
Sayang, di beberapa sekolah justru ajang ini dipakai sebagai “pelampiasan” (perpeloncoan) senior kepada junior. Junior dijadikan objek perpeloncoan, baik itu bersifat fisik maupun non fisik, misalnya diberikan hukuman yang tidak wajar atau dibentak-bentak. Tak ayal tujuan MOS yang tadinya untuk membantu proses adaptasi siswa baru terhadap sekolah seolah berubah menajadi “lahan” perpeloncoan. Tindakan seperti ini sangat beresiko terhadap kondisi psikologis para siswa, mereka bisa terkena trauma sehingga nantinya bisa berdampak pada proses belajarnya dikemudian hari. Sekolah sebagai institusi yang berwenang, sudah semestinya harus mengwasi lebih ketat disetiap penyelenggaraan MOS. Kontrol ini diperlukan terutama untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan terhadap siswa.

Kamis, 08 Juli 2010

Wacana Pemberian Senjata Terhadap Satpol PP: (Bukan) Senjata Api, Tapi Komunikasi


Oleh Imam Solehudin

Pada akhir bagian film spiderman ada sebuah pernyataan yang sangat mendalam dari sang manusia laba-laba . Spiderman mengucapkan kalimat, in great power comes great responsibility (sebuah kekuatan besar akan mendatangkan tanggung jawab yang besar pula). Ketika seseorang diberikan kekuatan (kekuasaan) yang besar, secara otomatis dia mempunyai tanggung jawab yang besar pula terhadap kekuasaan yang disandangnya. Kutipan tersebut nampaknya tepat dengan wacana yang berekembang sekarang ini, mengenai pemberian fasilitas senjata terhadap satuan polisi pamong praja (satpol pp). Seperti yang diutarakan oleh menteri dalam negeri, Gamawan Fauzi, belum lama ini, kedepan satpol pp dalam melaksanakan tugasnya akan dibekali senjata. Meskipun senjata yang digunakan berjenis gas, hal ini menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Ada yang menyatakan, kebijakan itu belum diperlukan oleh satpol pp, sebab dikhawatirkan bisa menimbulkan tindakan represif. Sedangkan yang menyetujui berpendapat bahwa pemeberian senjata dirasa perlu mengingat tugas satpol pp yang begitu penuh resiko.Wacana yang digulirkan mendagri mengenai pemberian senjata kepada satpol pp rasanya belum diperlukan. Sebab, Tugas mereka pada dasarnya lebih kepada mengawasi pelaksanaan peraturan daerah (perda), aritnya setiap tindakan pelanggran yang dilakukan masyarakat hanya bersifat ringan. Lainnya halnya dengan polisi yang bertugas melakukan pengawasan dan penegakan terhadap tindakan kriminal. Kalau pun dalam keadaan urgent, masih ada aparat polisi dan TNI .
Pada dasarnya, satpol pp tidak dipersiapkan untuk menjadi penegak hukum criminal seperti halnya TNI dan Polisi. Mereka hanya bertugas menjadi mitra pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan perda. Sehingga otoritas penegakan hukumnya lebih ringan dibandingkan aparat lainnya. Dibandingkan mempersenjatai sapol pp. pemerintah seharusnya lebih meningkatkan kompetensi mereka, diantaranya mengenai keterampilan komunikasi dan mentalitas. Tidak bisa dipungkiri bahwa tugas dari satpol pp bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sering kali kita melihat ketika satpol pp melakukan tugas, misalnya melakukan razia atau penertiban. Mereka kurang mampu dalam berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif, teknik komunikasi yang mereka gunakan lebih cenderung mengarah kepada tindakan represif, bukan persuasif. Ketidakmampuan dalam melakukan diplomasi terhadap masyarakat, membuat satpol pp mengalami kendala ketika menjalankan tugasnya, akibatnya terjadi miss komunikasi yang berujung pada kekisruhan. Senjata yang harus dimiliki satpol pp adalah komunikasi, komunikasi yang mampu memberikan ketenangan terhadap masyarakat serta menciptakan win-win solution.

Rabu, 07 Juli 2010

Lagi…..Kekerasan Terjadi Di Dunia Pendidikan


Oleh Imam Solehudin

Kekerasan di dunia pendidikan Indonesia belum juga sirna, setelah kasus penyiksaan terhadap salah seorang mahasiswa IPDN (Instiut Pemerintahan Dalam Negeri) dan kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Kini, hal itu terulang kembali, kali ini terjadi pada Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tanggerang, Banten. Kasus ini sebenarnya terjadi pada maret 2010 lalu, namun baru terungkap kemarin, setelah adanya video mengenai penganiayaan itu beredar dan ditayangkan di salah satu stasiun swasta nasional . Dalam video tersebut terlihat empat orang taruna menganiaya para juniornya, mulai dari pukulan hingga tendangan. Mereka memperlakukan juniornya seperti binatang, sangat tidak manusiawi. Sungguh miris memang, di tempat yang mengajarkan budi pekerti serta ilmu,, terjadi penganiayaan.
Kejadian ini menandakan bahwa reformasi pendidikan di negeri kita, terutama di sekolah berstatus ikatan dinas belum juga mengalami perbaikan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan senior terhadap junior. Kita tentunya masih ingat bagaimana kekerasan yang terjadi di IPDN pada medio april 2007 lalu, saat salah satu prjanya, Clift Muntu tewas dianiaya oleh seniornya. Awalnya pihak institusi menolak mengatakan bahwa Clift tewas akibat dianiaya. Setelah dilakukan otopsi, polisi menyatakan bahwa taruna tersebut tewas akibat pukulan.
Bila kita cermati bersama, sekolah berstatus ikatan dinas, mayoritas menerapkan sistem pendidikan semi militer. Disini, unsur senioritas sangata kental, otoritas mereka sangat besar kepada juniornya. Kekuasaan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya penganiayaan. Para senior seolah menuntut juniornya untuk sesempurna mungkin dalam mematuhi peraturan, jika salah resikonya bisa fatal. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh taruna STPI misalnya, diduga kuat terjadi gara-gara juniornya melakukan kesalahan saat melakukan baris-berbaris. Sistem semi militer memang sangat baik diterapkan dalam dunia pendidikan, terutama untuk membentuk karakter kedisiplinan seseorang. Namun jika disertai punishment yang tidak wajar sepreti pada kasus-kasus diatas, jelas ini sebuah kekeliruan. Selama ini, tindakan perploncoan terhadap junior telah menjadi sebuah tradisi sehingga sulit untuk dihilangkan.
Optimalisasi pengwasan terhadap sekolah menjadi syarat mutlak yang harus diperhatikan, karena tidak mungkin senior berani menganiaya juniornya jika tidak ada kesempatan. Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap sekolah kedinasan, terutama menyangkut sistem pendidikan. Bukankah mereka dididik untuk menjadi seorang pemimpin yang nantinya terjun ke masyarakat?. Apa jadinya, jika model pendidikan “kekerasan” itu diberikan kepada mereka?.

Senin, 05 Juli 2010

Menanti Sang Nahkoda KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi, sebuah nama yang cukup membuat para koruptor merinding. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, KPK memiliki kewenangan yang cukup luas dalam memberangus para "pencuri kekayaan negara". Lewat KPK sebagian tersangka korupsi berhasil diadili. Salah satu prestasi KPK adalah ketika berahasil ,menahan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan,yang notabene besan presiden SBY. Pohan ditahan bersama tiga rekannya sesama mantan Deputi Gubernur BI, yaitu Bunbunan EJ Hutapea, Maman Soemantri, dan Aslim Tadjuddin. Penahanan terkait kasus aliran dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan BI tahun 2003 (antikorupsi.com).
Sayang ditengah gencarnya pemberantasan korupsi, Institusi penegak hukum itu kini tengah mengalami lesu darah. Hal itu terkait banyaknya kasus serta kriminalisasi yang dilakukan terhadap pimpinan KPK, mulai dari konflik POLRI vs KPK, hingga kasus pembunuhan Nasrudin yang melibatkan Big Bos KPK, Antasari Azhar. Pelaksana tugas (PLT) ketua KPK pun, Tumpak Hatorangan tidak bisa bekerja optimal, sebab hanya menjadi ketua sementara, dan sekarang dia tidak lagi menjabat sebagai ketua KPK. Praktis, jabatan ketua kini menjadi kosong. Masalah yang menimpa paran pimpinan KPK tersebut membuat kinerja pemebrantasan korupsi menjadi tidak optimal.
Tanggal 25 Juni kemarin, MENHUKAM Patrialis Akbar, secara resmi mengumumkan pembukaan pendaftaran ketua KPK. Antusiasme masyarakat cukup besar, terbukti peserta yang mendaftar sangat banyak. Pendaftar berasal dari berbagai kalangan, mulai dari advokat, pengusaha, hingga PNS. Kekhawatiran sempat muncul ketika tidak adanya sosok yang yang familiar dan memiliki track record mumpuni untuk mengurusi KPK. Namun, masyarakat akhirnya bisa bernafas lega ketika Busyro Muqodas, mantan ketua Komisi Yudisial, serta anggota dewan pertimabangan presiden (watimpres), Jimly Ash-Shiddiq ikut mendaftar. Mereka diprediksi berpeluang besar menjadi KPK 1. Lalu figur seperti nahkoda baru KPK apa yang diinginkan masyarakat?. Masyarakat tentunya sangat berharap pimpinan KPK nantinya memiliki loyalitas serta integritas dalam mengawal pemerintah. Ketua KPK harus berani dalam memberantas pelaku korupsi kelas kakap, singkatnya tak pandang bulu, jangan hanya maling kelas teri saja yang diusut, Sebuah tugas maha berat memang bagi siapapun yang nantinya menjabat. Semoga pemimpin KPK yang baru, mampu membawa perubahan besar terhadap masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Minggu, 04 Juli 2010

Menunggu Kumandang “Indonesia Raya” di Piala Dunia


Ada dua peristiwa dimana lagu kebangsaan sebuah negara dinyanyikan di negara lain, pertama ketika para pejabat melaksanakan kunjungan ke negara lain, atau menjadi tamu kehormatan suatu negara. Kedua adalah saat dimana seorang atlit meraih prestasi di sebuah event Internasional. Sebuah kebanggan tersendiri tentunya, ketika lagu kebangsaan sebuah negara dinyanyikan di negara lain, hal ini menandakan bahwa negara tersebut diakui dan berdaulat.
Dalam sebuah pertandingan sepakbola resmi antar negara, entah itu kompetisi ataupun hanya sebatas persahabatan, ritual menyanyikan national anthem (lagu kebangsaan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah pertandingan, tak terkecuali piala dunia. Seandainya saja Indonesia bisa tampil di Afrika, mungkin kita bisa mendengarkan lagu ciptaan WR Supratman tersebut berkumandang. Sayang, impian itu belum juga tercapai karena pada penyelenggaraan piala dunia kali ini, timnas kita kembali harus menjadi penonton, setelah gagal melewati fase kualifikasi.
Kapan Indonesia masuk piala dunia?. Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini masih belum bisa terjawab oleh insan sepakbola di tanah air, baik itu PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) selaku institusi yang berwenang, maupun pemain timnas (tim nasional) kita. Sejak gelaran pertama piala dunia yang diselenggarakan di Uruguay tahun 1930, Indonesia belum pernah mengikuti piala dunia.
Memang, tahun 1938 Indonesia sempat menjadi kontestan piala dunia untuk pertama kalinya, namun waktu itu masih dibawah bendera Hindia-Belanda. Secara de facto, Indonesia memang ambil bagian dalam piala dunia 1938, namun dari sisi de jure, negara kita bisa dikatakan belum berpartisipasi karena masih “numpang” atas nama Hindia-Belanda.
Masyarakat kita tentunya sangat menantikan timnas Indonesia berlaga di ajang sepakbola terbesar sejagat tersebut dengan membawa bendera merah putih. Kita pastinya akan bangga, ketika kapten kesebelasan timnas bertukar cideramata (bendera) dengan tim sepakbola lawan, serta melihat para pemain timnas menyanyikan lagu Indonesia Raya di piala dunia. Bravo Sepakbola Indonesia!=MAM

Kamis, 10 Juni 2010

Virus Piala Dunia


Oleh Imam Solehudin
Hari ini, jumat (11/6) boleh jadi merupakan moment yang paling ditunggu-tunggu seluruh masyarakat pecinta bola di dunia. Gelaran turnamen sepakbola terbesar sejagat tersebut akan dimulai malam ini. Ada yang sedikit istimewa dari ajang empat tahunan sekarang, untuk pertama dalam sejarah penyelenggaraan piala dunia, turnamen digelar dibenua hitam (Afrika), tepatnya Afrika Selatan. Tentunya hal ini menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagi segenap warga Afrika, karena bisa menyaksikan langsung perhelatan piala dunia di tanah mereka. Selama kurun waktu penyelenggaraannya, penunjukan tuan rumah selalu di dominasi oleh benua amerika dan eropa. Barulah pada 2002, Jepang dan Korea Selatan didaulat sebagai tuan rumah. Kebangkitan sepakbola Afrika menjadi salah satu alasan, mengapa FIFA menunjuk negeri dimana pejuang HAM Afrika, Nelson Mandela itu berasal. Meski sempat diwarnai isu keamanan, Afrika Selatan sukses meyakinakan badan pemegang otoritas tertinggi sepakbola tersebut. Pembangunan infrastruktur pun dilakukan demi susksesnya gelaran ini.
Bagi pecinta bola, perhelatan piala dunia selalu dinanti-nantikan. Kalau biasanya pertandingan sepakbola diselenggarakan setiap akhir pekan, kini kita bisa menyaksikan para maestro si kulit bundar beradu skill selama kurang lebih satu bulan full. Setiap hari, setidaknya ada tiga pertandingan yang akan menghiasai layar kaca. Intensitas pertandingan yang cukup banyak tentunya akan berpengaruh terhadap aktifitas sehari-hari. Kegiatan mereka pastinya akan sedikit terkena dampak piala dunia, dengan kata lain terjadi reschedulling (penjadwalan ulang) kegiatan sehari-sehari.. John Cramond (1986), seorang ahli komunikasi, menyebut hal ini dengan istilah displacement effect (efek alihan) atau reorganisasi kegiatan (beberapa kegiatan akan dikurangi dan beberapa kegiatan dihentikan sama sekali, karena waktunya dialokasikan untuk satu kegiatan tertentu). Pendapat cramond tersebut sangat relevan bila dikaitkan dengan fenomena piala dunia. Kita tentunya akan mengalokasikan waktu yang biasanya dipakai untuk aktivitas tertentu, justru digunakan untuk menonton pertandingan sepak bola. Bagi yang jarang “begadang” (tidur larut), mungkin mereka akan memaksakan diri bangun ditengah malam demi menyaksikan tim idolanya bertanding. Begitu juga bagi para pelajar, mereka yang biasa pada malam harinya belajar, dengan adanya piala dunia otomatis jadwal belajar mereka akan berubah.

Selasa, 08 Juni 2010

Tragedi Kemanusiaan di Tanah Gaza


Oleh Imam Solehudin
Beberapa hari yang lalu tepatnya senin (1/5) kemarin, timur tengah kembali bergolak. Tentara zionis Israel kembali membombardir para relawan misi kemanusiaan Fortilla Freedom. Mereka rencanya akan bertolak ke Palestina untuk memberikan bantuan kepada warga . Belum sampai disana, mereka dikejutkan oleh sekawanan tentara Israel yang merengsek masuk kepada kapal yang ditumpangi relawan, mavi marmara. Kapal tersebut mengangkut sekitar 561 relawan yang berasal dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Israel tanpa ampun menembaki para relawan yang berada di kapal. Sebanyak 19 orang tewas dalam insiden tersebut. Kejadian itu berlangsung di perairan Internasional, yang secara yuridis tentara zionis tersebut dilarang menyerang kapal.
Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel membuktikan bahwa negera zionis tersebut sangat tidak menghargai Hak Azasi Manusia (HAM). Indikasi itu terlihat sangat nyata ketika mereka menembaki para relawan di kapal mavi marmara belum lama ini. Israel memang wajib ditindak tegas oleh seluruh negara di dunia. PBB seharusnya sedari dulu memberikan sanksi terhadap israel. Sudah kelewat serting “anak emas” Amerika itu melakukan tindakan pelanggaran HAM. Tindakan yang dilakukan oleh “negeri setan” itu sudah keterlaluan dan biadab. Apakah mereka tidak punya nurani? Menyerang kapal yang sangat jelas-jelas memiliki misi kemanusiaan. Apakah mereka sudah tidak memiliki lagi rasa kemanusiaan? Menembaki orang yang jelas-jelas datang ke Gaza untuk menyalurkan bantuan.
Israel memang negara yang sangat “luar biasa”. Luar biasa biadabnya, luar biasa “sakitnnya”, terlebih perdana menteri “laknatullah mereka”, benyamin netanyahu. Mestinya, seorang kepala pemerintahan seperti dirinya memiliki perilaku yang bijaksana. Apa yang dilakukan PM tersebut sungguh sangat tidak mencerminkan seorang pemimpin. Apa ada pemimpin yang menyuruh bawahannya untuk menembaki orang yang akan menolong?.
Sebagai negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya memiliki peranan yang besar terhadap konfilk yang terjadi di timur tengah. Upaya diplomasi yang dilakukan kepala negera hingga saat ini belum begitu terlihat hasilnya. Negeri kita hanya sebatas “mengecam”, “mengutuk”, dan sederet kata-kata lainnya, pendek kata nothing action. Padahal Indonesia memiliki peran strartegis dalam persoalan ini. Negeri kita memiliki kedekatan dengan Amerika, “sohib Israel”. Negeri paman sam tersebut pengaruhnya sangat besar terhadap Israel. Lewat jalur diplomasi, mestinya Indonesia bisa “merayu” Amerika untuk menghentikan tindakan “tak bernurani” Israel. Hingga saat ini, gedung putih sama sekali belum bertindak terhadap “teman dekatnya” tersebut. Isyarat diam Obama bisa jadi seperti merestui tindakan “biadab” yang dilakukan Israel. Semoga saja kedepan pemerintah dapat berkontribusi nyata terhadap perdamaian di timur tengah.

Kamis, 03 Juni 2010

RSBI: Kastanisasi Di Dunia Pendidikan

Oleh Imam Solehudin
Dalam Bab XIV pasal 50 ayat 3 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pemerintah daerah harus mengembangkan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan menjadi bertaraf internasional. Untuk itulah pemerintah, dalam hal ini kementrian pendidikan nasional gencar berupaya untuk mewujudkan tujuan itu. Sekolah, saat ini sedang berlomba-lomba untuk beralih “label” menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Mereka pun berbenah diri untuk mendapat pengakuan sebagai sekolah bertaraf internasional. Pembenahan yang dilakukan meliputi infrastruktur pendidikan dan peningkatan sumber daya manusia (guru dan staf sekolah). Tak ayal, ini berakibat pada mahalnya biaya pendidikan RSBI jika dibandingkan dengan sekolah pada umumnya, meskipun pemerintah telah mengucurkan dana untuk peningkatan sarana dan prasarana serta mutu SDM sekolah. Sekolah RSBI memang diberikan otoritas untuk mengambil pungutan dari siswa untuk membiayai sarana dan prasarana sekolah, sehingga biaya untuk masuk RSBI sangat tinggi. Masyarakat pun berpendapat bahwa RSBI merupakan salah satu upaya bentuk komersialisasi pendidikan.
Persoalan mengenai RSBI kini memang tengah menjadi sorotan utama publik. Kebijakan kementrian yang dibawahi oleh Muhammad Nuh tersebut menuai pro dan kontra. RSBI dinilai oleh masyarakat merupakan sebuah bentuk dari upaya kastanisasi pendidikan. Hal ini karena kecilnya kesempatan mereka yang tidak mampu (keluarga miskin) untuk bisa masuk RSBI, karena tingginya biaya. Kendati ada aturan dalam RSBI yang menyatakan bahwa, sekolah harus menerima bagi siswa kurang mampu, tetap saja tidak akan bisa mengakomodasi mereka sepenuhnya. Bukankah di dalam konstitusi negeri ini disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat pendidikan dan penghidupan yang layak?. Sekolah yang merupakan tempat bagi semua orang untuk menuntut ilmu, seolah telah berubah menjadi tempat yang untouchble bagi kaum tak mampu, dengan kata lain eksklusif sehingga membuat seolah-olah RSBI hanya untuk “si kaya” saja. Potensi siswa yang mampu secara akdemis, namun tidak dari sisi materi pastinya akan tersisihkan.
Pada dasarnya, dengan adanya RSBI merupakan suatu hal yang sangat positif bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Ini berarti menandakan bahwa pendidikan kita mengalami suatu kemajuan. Dengan sistem bertaraf internasional, kompetensi lulusan yang dihasilan (siswa) akan semakin berkualitas. Namun, hal tersebut harus diimbangi juga denga kualitas SDM serta dengan tetap berlandaskan pada aspek sosial. Maksudnya, sekolah (RSBI) selaku instiusi pendidikan harus membuka ruang seluas-luasnya bagi semua lapisan masyarakat, sehingga tidak ada lagi istilah kastanisasi dalam RSBI. Inilah tugas pemerintah, bagaimana caranya agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat./MAM

Selasa, 11 Mei 2010

Refleksi Kerusuhan Mei 1998 : Potret Buram Aparatur Negara....


Oleh Imam Solehudin

Tragis, itulah kata-kata yang bisa menggambarkan tragedi mei 1998. Peristiwa pahit yang pastinya tidak akan pernah terlupakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Ratusan mahasiswa menjadi korban kebiadaban aparat penegak hukum. Mereka tanpa ampun membredel para generasi muda bangsa dengan senapan dan gas air mata. Puluhan orang dinyatakan hilang pada peristiwa mei kelam itu. Empat orang mahasiswa gugur dalam demonstrasi yang menuntut lengsernya presiden soeharto. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. 12 Mei 1998 bisa dikatakan sebagai peristiwa kelam dalam dunia kemehasiswaaan Indonesia. Perjuangan keempat putra bangsa itu tidak sia-sia. Tuntutan mengenai lengsernya soeharto yang terpilih sebagai presiden unutk kesekian kalinya berbuah manis. Soeharto pada hari itu lengser dari jabatannya. Rezim yang bertahan selama 32 tahun tersebut akhirnya runtuh oleh teriakan-teriakan mahasiswa. Entah apa jadinya seandainya para mahasiswa tidak melakukan demonstrasi menuntut jatuhnya soeharto pada waktu itu.
Saya jadi teringat mengenai sebuah puisi dari Chairil Anwar yang berjudul Ketakutan '45 :
Mahasiswa Takut oleh Dosen
Dosen Takut oleh Dekan
Dekan Takut oleh Rektor
Rektor Takut oleh Presiden
PRESIDEN TAKUT OLEH MAHASISWA.
Puisi patut kita renungi bersama bahwa kekuatan mahasiswa begitu besar sebagai mitra rakyat. Mundurnya soeharto merupakan contoh konkret betapa besarnya peranan mahasiswa.
Untuk Itu sebagai mahasiswa harus bisa memberikan kontribusi terhadap rakyat. Perjuangan kita saat ini bukan lagi menghadapi senapan, gas air mata, atau water cannon. Perjuangan kita hari ini adalah bagaimana bisa berperan dalam memberikan kontribusi nyata terhadap pemebangunan negeri ini. Semoga kejadian mei 1998 bisa memotivasi para mahasiswa agar senantiasa berjuang untuk masyarakat.

Kamis, 29 April 2010

Urgensi Infrastruktur Pendidikan

Oleh Imam Solehudin

Hasil Ujian Nasional (UN) beberapa hari yang lalu telah diumumkan. Presentasi tingkat kelulusan untuk SMA, SMK, dan MA mengalami penuruanan jika dibanding tahun lalu. Pada tahu 2009, tingkat kelulusan mencapai 93,4%, sedangkan untuk tahun ini 89,88 % atau turun 4% (Sindo,27/4). Tercatat untuk tahun 2010, dari total peserta UN 1.522.162, sebanyak 1.362.696 dinyatakan lulus sedangkan nasib 154.079 siswa lainnya tidak lulus.
Persoalan mengenai pendidikan memang menjadi permasalahan klasik di negeri kita. Pemerintah harus terus melakukan evaluasi terhadap kebijakan pendidikan ini. Mengenai ujian nasional misalnya, hampir disetiap penyelenggraan ujian nasional selalu ada masalah, entah itu soal pendistribusian atau isi soal itu sendiri. Akibatnya, proses penyelenggaraan UN pun mengalami kendala. Tak dipungkiri bahwa turunnya presentasi kelulusan UN salah satu faktornya karena hal tersebut.
Setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Pertama adalah mengenai sarana dan prasarana sekolah. Dibeberapa daerah kita sering menyaksikan masih banyak sekolah yang tidak layak. Padahal instrumen sekolah sangat vital terhadap keberlangsungan sebuah proses pendidikan. Kalau kita ibaratkan sekolah itu kapal dan penmpangnya murid, bagaimana mungkin penumpangnya bisa sampai ke tujuan bila “kapalnya” saja sudah tidak layak terbang.
Kedua adalah masalah tenaga pendidik. Guru sebagai pendidik memiliki peran yang sangat besar dalam menghasilkan murid-murid yang berkualitas. Ditangan merekalah anak didiknya akan berhasil atau tidak. Sayang, pengorbanan mereka tidak sebanding dengan hasil yang didapat. Kesejahteraan mereka masih sangat minim. Soal status misalnya, masih banyak guru yang menjadi guru tidak tetap alias tenaga honorer. Pendapatan mereka masi jauh dari cukup, kadang mereka mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masih ingat tentang kisah kepala sekolah yang juga menjadi pengemis? Bayangkan saja, itu terjadi pada sebuah sekolah yang berada di pusat Ibu kota (Jakarta), mungkin ini hanya terjadi di negeri kita saja. Kemudian mengenai kualitas dan kualitas pendidik. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kompetensi guru belum merata. Hal ini bisa dilihat di beberapa daerah masih banyak tenaga pendidik yang kompetensi mengajarnya tidak layak.
Pemerintah memang telah menganggarkan dana 20% dari APBN untuk pendidikan. Namun, anggaran sebesar itu, belum juga bisa membuat pendidikan semakin baik. Masih banyaknya masalah yang menimpa dunia pendidikan membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah dalam mekanisme penyaluran anggaran pendidikan. Praktik korupsi, pengutan liar, nampaknya tidak bisa hilang di kalangan para birokrat negeri ini. Fungsi pengwasan pemerintah masih sangat lemah bila kita perhatikan. Praktik penyelewengan dana masih sangat rawan. Bantuan operasional sekolah (BOS) yang seyogyanya diperuntukan untuk kesejahteraan sekolah, masih diwarnai praktik korupsi oleh oknum sekolah. Ini bisa jadi karena rendahnya tingkkat kesejahteraan pada pendidik sehingga praktik-praktik kotor seperti itu tetap terjadi./MAM

Senin, 26 April 2010

Fenomena Kongres Partai Politik Oleh Imam Solehudin

Suhu perpolitikan negeri kita mulai kembali terasa. Hal ini ditandai dengan berlangsungya beberapa kongres partai politik serta ormas keagamaan Indonesia. Nahdatul Ulama mengwalinya dengan menggelar muktamar NU yang dilaksanakan di Makasar beberpa waktu yang lalu. Keluar sebagai “pemenang” Said Aqil Siradj dan Sahal Mahfudz. Masing-masing sebagai ketua umum PBNU serta ketua dewan Tanfidz. Menarik bila kita melihat konstelasi politik saat pemilihan itu, bumbu-bumbu kepentingan politik dari salah satu parpol sempat diisukan mampir ke ajang paling akbar ormas Islam terbesar itu. Kemenangan said dan sahal disinyalir karena adanya campur tangan dari Cikeas. Masuk akal memang, bila parpol berlomba-lomba mendekati ormas islam seperti NU. Basis masa mereka sangat besar, dan mereka sangat patuh terhadap titah pimpinan. Tapi, lewat pernyataannya, said aqil siradj mengungkapkan bahwa NU harus kembali ke khittahnya (tujuan awal). Menurutnya, ketika ada warga NU yang terjun ke Politik, maka mereka jangan menggunakan isntitusi sebagai kendaraan politiknya. Pendapat ketum NU terpilih tersebut memang masuk akal, sangat disayangkan memang bila ormas islam seperti NU terjun kepada politik praktis.
Pasca pelaksanaan muktamar NU, geliat konstelasi politik Indonesia kembali hangat. Kali ini, Partai berlambang moncong putih megadakan kongres di Bali. Keputusan mengenai arah partai menjadi agenda penting, apakah akan borkoalisi/menajdi mitra pemerintah atau tetap menajadi oposisi pemerintah. Isu mengenai koalisi dengan pemerintah santer menjadi pembicaraan publik, karena ketua dewan pertimbangan partai PDIP yang notabene suami Megawati, memberikan statment bahwa ada kemungkinan PDIP berkoalisi dengan pemerintah. Setelah melewati musyawarah seluruh DPD partai, secara aklamasi akirnya megawati soekarnoputri kembali terpilih sebagai ketua umum PDIP untuk kesekian kalinya. Sebagian besar kalangan partai menilai bahwa, figur mega masih dibutuhkan partai. Apalagi dengan kondisi partai yang mengalami penurunan konstituen pada pemilu. Mega pun langsung menentukan sikap, wacana koalisi menjadi isu utama saat mega menyampaikan pidatonya. Dengan tegas dia menyatakan bahwa PDIP akan tetap menjadi oposisi, dan menolak menjadi mitra koalisi peemrintah. Menurutnya, PDIP tetap akan menjadi partai “wong cilik”. Bila PDIP jadi menjadi mitra koalisi pemerintah, bisa dibayangkan semakin kuatnya posisi pemerintah di parlemen. Tidak ada lagi keseimbangan, dinamisasi politik pastinya tidak akan terjadi karena peemrintah bisa mengontrol parlemen sepenuhnya. Disinilah bahayanya, karena bila ini sampai terjadi maka akan tercipta sebuah kekuasaan yang absolut. Saya teringat mengenai sebuah ungkapan dari soerang filsafat Yunani bahwa kekuasaan yang absolut cenderung akan korup. Memang ada benarnya ucapannya, ketika sebuah pemerintahan absolut, artinya fungsi controlling akan lemah, serta monitoring terhadap kebijakan pemerintah tidak berarti apa-apa. Ruang untuk praktik korupsi, deal-deal kasus akan marak terjadi.
Kongres parpol yang saat ini sedang ditunggu-tunggu adalah partai demokrat. Dalam waktu dekat partai berlambang mercy itu akan melaksanakan kongres yang sedianya digelar di Bandung. Dua kandidat dipastikan memperebutkan posisi “demokrat 1”. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Malaranggeng serta mantan Ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum bertarung memperebutkan kursi ketua umum PD. Aroma persaingan mulai menyeruak, isu black campaign yang dilakukan salah satu calon ketum menyeruak. Saling klaim dukungan nampaknya sudah menjadi “bumbu peyedap” disetiap kongres parpol. AM menilai dirinya telah mendapat restu dari RI 1 yang notabene adalah ketua dewan pembina PD. Dengan sesumbar, adik dari politisi Rizal Malaranggeng tersebut telah mendapat dukungan 80 % dari seluruh DPC. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, andi mengeluarkan statment bernada sedikit meremehkan anas. AM menawari Anas kursi sekjen dan menyerukan agar segera mundur. Namun, seperti biasa anas hanya menanggapi dengan santai. Kewibaan serta pembawaan anas yang tenang membuat tim suksesnya yakin bahwa mantan anggota KPU itu keluar menjadi “jawara” demokrat 1. Siapapun yang akan menjadi PD 1 pastinya memiliki tugas berat. Pertama, mereka harus mempertahankan eksistensi Parpol Demokrat selaku pemenang pemilu. Kedua, meningkatkan citra parpol yang saat ini mulai menurun akibat beberapa kasus, terutama century. Lima tahun kepemimpinan ketua umum partai akan berpengaruh terhadap kondisi parpol secara menyeluruh. SBY tentunya sudah mempertimbangkan matang-matang soal ini. Berhembus kabar bahwa SBY lebih condong kepada AM daripada anas. Pernyataan tersebut seperti yang diungkap oleh Ibas, putra SBY yang juga pengurus partai demokrat.
Menarik memang bila kita cermati konstelasi politik di negeri kita ini. Tahun ini, setidaknya ada tiga parpol yang telah mengadakan kongres. Ancang-ancang menuju pemilu 2014 nanti sepertinya sudah digalakan oleh parpol. Penyusunan Grand Design parpol akan menentukan nasib mereka di pemilu nanti.

Kamis, 22 April 2010

Memaknai Hari Kartini
Oleh Imam Solehudin

Setiap tanggal 21 april hampir sebagian besar kaum hawa di Indonesia memperingati hari kartini. Hari dimana lahirnya salah satu tokoh pelopor pergerakan wanita Indonesia, yang selama masa hidupnya dihabiskan untuk mengabdi ada bangsa Indonesia, terutama dalam memperjuangkan hak-hak kesesetaraan wanita atau populer dengan istilah “emansipasi” wanita. Perayaannya beragam, tapi yang paling khas adalah pemakaian kebaya. Balutan busana yang dikenakan para wanita ini merupakan bisa dibilang merupakan simbol dari perayaan hari kartini. Sayang, peringatan hari kartini hanya sebatas seremonial semata. Sedikit orang yang benar-benar memaknai hari kartini. Padahal banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari sosok wanita yang lahir pada 21 april 1879 silam tersebut. Semangat perjuangan, kesederhanaan, pengabdian yang tulus, merupakan segelintir sifat dari wanita bernama lengkap Raden Ajeng Kartini ini.
Kartini dilahirkan di kota Jepara, dia merupakan anak dari dari bangsawan. Ayahnya adalah seorang bupati begitu juga dengan saudara-saudaranya. Namun, status bangsawan yang melekat pada kartini tidak membuatnya menjadi seorang yang angkuh serta berperilaku “hedon” sebagimana lainnya. Justru dia memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat pribumi. Orang tuanya merupakan salah satu orang keprcayaan pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu. Meskipun kedua orangtuanya merupakan antek Belanda, kartini tetap seorang nasionalis yang cinta akan tanah airnya. Dia begitu iba melihat penderitaan saudara-saudaranya yang tertindas akbat penajajahan. Rasa cinta kartini dibuktikannya dengan mendirikan sekolah untuk warga pribumi miskin yang notabene tidak memiliki kesempatan bersekolah, karena pada waktu itu pemerintah Hindia-Belanda hanya memberikan pendidikan untuk kalangan ningrat saja, tidak untuk masyarakat kelas bawah. Dengan penuh pengabdian yang tulus serta kecintaannya terhadap bangsa, kartini mengajari murid-muridnya dengan sabar dan ihklas. Aktifitas yang dilakukan kartini bukan tanpa rintangan, banyak dari mereka termasuk keluarganya sendiri menentang apa yang dilakukannya, terlebih pemerintah Hindia-Belanda. Walaupun mendapat tentangan keras, kartini tetap bersikeras melanjutkan perjuangannya dalam memajukan pendidikan kaum wanita.
Cerita singkat mengenai perjuangan dan pengabdian kartini diatas dapat kita jadikan contoh, bagaimana sosok seorang kartini yang begitu tetap sederhana, meskipun dia berasal dari keluarga bangsawan. Kelimpahan materi, kekuasaan yang dimiikinya, dipergunakan untuk kesejahteraan warga pribumi. Dia tidak silau akan kekayaan materi serta kekuasaan. Inilah wujud nyata dari salah seorang pahlawan bangsa yang mesti diteladani. Bila dikaitkan dengan perjuangan dan pengabdian kartini, sebagai insan akademis (mahasiswa), sudah menjadi kewajiban kita untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dari bangku kuliah bagi masyarakat. Rasa kepekaan terhadap masyarakat harus dipupuk sejak dini agar nantinya tidak menjadi seorang selfish (egois) yang hanya mementingkan diri sendiri. Semoga nilai-nilai perjuangan kartini bisa menjadi panutan dalam setiap langkah kita.

Selamat Hari Kartini !

Senin, 22 Maret 2010

Life Style for Better World
Oleh Imam Solehudin
Kondisi bumi saat ini begitu memperihatinkan. Alam kini sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia. Berbagai bencana yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir akibat dari kondisi alam yang rusak dan semakin sulit untuk diprediksi. Pergantian musim misalnya, Indonesia sebagaimana yang kita tahu mengalami dua kali pergantian musim setiap tahunnya, yakni hujan dan panas. Pergantian musim tersebut berlangsung setiap enam bulan sekali. Tapi apa yang terjadi sekarang, pergantian musim kini sulit untuk diprediksi. Terkadang musim hujan lebih panjang ketimbang musim panas, begitu pula sebaliknya. Akibatnya terjadi berbagai krisis, seperti air, tanah dan pangan. Keadaan serupa juga terjadi di beberapa negara lainnya.
Pemanasan global terjadi karena meningkatnya efek dari gas rumah kaca. Gas-gas seperti karbonmonoksida yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dan industri, metana yang dihasilkan oleh limbah peternakan (N2O), serta penggunaan cloro fluro carbon (CFC) terhadap peralatan elektronik seperti kulkas dan air conditioning (AC), merupakan penyebab terjadinya global warming. Dalam ambang batas normal, gas-gas tersebut memang sangat bermanfaat, terutama untuk menghangatkan suhu bumi. Kenyataannya sekarang berbeda, karbondioksida misalnya, dari hasil riset salah seorang pegiat lingkungan, tingkat CO2 di atmosfer kini telah mencapai pada angka 380 ppm, hampir mendekati angka 400 (Lynas, 2009). Jika kondisi itu terjadi, seperti yang diungkap Lynas dalam bukunya Six Degrees: Our Future on a Hotter Planet (Enam Derajat: Masa Depan Kita di Planet yang Semakin Panas) maka bumi akan mengalami kenaikan suhu sebesar dua derajat celcius. Pada tingkat kenaikan suhu tersebut permukaan laut diprediksi akan mengalami kenaikan sebesar tujuh meter secara global. Bisa dibayangkan jika itu sampai terjadi, berapa banyak pulau-pulau kecil yang terendam. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah sejauh mana upaya yang telah kita lakukan untuk mencegah hal itu. Apakah kita sudah melakukan hal yang konkret dalam upaya melestarikan alam?
. Negara-negara di dunia saat ini tengah berupaya mencari jalan keluar atas masalah krisis perubahan ikilm yang terjadi saat ini, diantaranya dengan mengurangi jumlah emisi karbon, reboisasi hutan, dan beragam hal lainnya. Dalam upaya menjaga kelestarian bumi, manusia merupakan unsur terpenting yang tidak bisa dipisahkan. Mereka bisa dikatakan menjadi decision maker (penentu keputusan) dan policy maker (pembuat kebijakan) terhadap kelangsungan kehidupan bumi. Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang menjadi kebiasaan-kebiasaan manusia (pola hidup) sangat berdampak terhadap bumi. Terjadinya krisis kerusakan lingkungan, krisis air, tanah, dan pangan selama ini lebih disebabkan ulah tangan manusia itu sendiri ketimbang oleh bencana alam.
Gaya hidup (life style) seseorang memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan konservasi alam. Hal itu mencakup kebiasaan makan, penggunaan kendaraan, barang-barang kosmetik, dan mengurangi pemakaian plastik. Pola kebiasaan makan misalnya, orang yang vegetarian (tidak memakan daging) memiliki pola makan yang ramah lingkungan ini dikarenakan mereka hanya tidak mengkonsumsi hasil ternak. Riset oleh Gidon Eshel dan Pamela Martin dari Universitas Chicago berkesimpulan, dengan mengganti pola makan hewani menjadi vegetarian, 50 persen lebih efektif mencegah global warming (kompas.com). Selain oleh karbondioksida (CO2) pemanansan global juga disebabkan oleh metana yang dihasilkan oleh lindustri peternakan. Artinya, dengan mengurangi konsumsi daging secara tidak langsung telah menekan jumlah emisi gas metana dan meminimalisir dampak perubahan iklim. laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) berjudul "Livestcok’s Long Shadow", melaporkan bahwa 18 persen pemanasan global yang terjadi saat ini akibat dari industri peternakan di dunia. Angka ini lebih besar dari pemanasan akibat seluruh (jenis) transportasi di dunia yang hanya 13 persen (kompas.com). Lain lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh salah satu organisasi pemerhati lingkungan greenpeace, dalam laporannya menyebutkan bahwa industri peternakan sapi merupakan penyebab terbesar pembabatan hutan di dunia. Penelitian greenpeace di hutan Amazon membuktikan bahwa 80% wilayah hutan disana habis digunakan untuk peternakan sapi dan lahan menanam kedelai untuk pakan ternak. Jadi jelas bahwa industri peternakan memiliki peranan penting dalam meningkatnya efek gas rumah kaca terhadap kondisi bumi. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam mencegah dampak dari pemanasan global adalah dengan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor. Seperti yang dijelaskan diatas, kendaraan bermotor merupakan penghasil utama gas CO2, dan tingkat CO2 di bumi saat ini telah mencapai 380 ppm, hampir mendekati angka 400 ppm yang menurut hasil penelitian Lynas berpotensi menaikan suhu bumi menjadi dua derajat celcius.
Program bike to work adalah salah satu solusi yang paling mudah untuk dilakukan guna mengurangi tingkat emisis karbon, karena sepeda tidak mengeluarkan emisi sebagaimana halnya kendaraan bermotor. Selain itu, gaya hidup bersepeda juga sangat baik untuk kesehatan, baik itu untuk pribadi maupun bumi. Perlu dicatat gaya hidup berkendara (bicycle lifestyle) sepeda merupakan upaya yang sangat simple namun bermanfaat besar.
Life Style for Better World
Oleh Imam Solehudin


Kondisi bumi saat ini begitu memperihatinkan. Alam kini sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia. Berbagai bencana yang terjadi dalam satu dasawarsa terakhir akibat dari kondisi alam yang rusak dan semakin sulit untuk diprediksi. Pergantian musim misalnya, Indonesia sebagaimana yang kita tahu mengalami dua kali pergantian musim setiap tahunnya, yakni hujan dan panas. Pergantian musim tersebut berlangsung setiap enam bulan sekali. Tapi apa yang terjadi sekarang, pergantian musim kini sulit untuk diprediksi. Terkadang musim hujan lebih panjang ketimbang musim panas, begitu pula sebaliknya. Akibatnya terjadi berbagai krisis, seperti air, tanah dan pangan. Keadaan serupa juga terjadi di beberapa negara lainnya.
Pemanasan global terjadi karena meningkatnya efek dari gas rumah kaca. Gas-gas seperti karbonmonoksida yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dan industri, metana yang dihasilkan oleh limbah peternakan (N2O), serta penggunaan cloro fluro carbon (CFC) terhadap peralatan elektronik seperti kulkas dan air conditioning (AC), merupakan penyebab terjadinya global warming. Dalam ambang batas normal, gas-gas tersebut memang sangat bermanfaat, terutama untuk menghangatkan suhu bumi. Kenyataannya sekarang berbeda, karbondioksida misalnya, dari hasil riset salah seorang pegiat lingkungan, tingkat CO2 di atmosfer kini telah mencapai pada angka 380 ppm, hampir mendekati angka 400 (Lynas, 2009). Jika kondisi itu terjadi, seperti yang diungkap Lynas dalam bukunya Six Degrees: Our Future on a Hotter Planet (Enam Derajat: Masa Depan Kita di Planet yang Semakin Panas) maka bumi akan mengalami kenaikan suhu sebesar dua derajat celcius. Pada tingkat kenaikan suhu tersebut permukaan laut diprediksi akan mengalami kenaikan sebesar tujuh meter secara global. Bisa dibayangkan jika itu sampai terjadi, berapa banyak pulau-pulau kecil yang terendam. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah sejauh mana upaya yang telah kita lakukan untuk mencegah hal itu. Apakah kita sudah melakukan hal yang konkret dalam upaya melestarikan alam?
. Negara-negara di dunia saat ini tengah berupaya mencari jalan keluar atas masalah krisis perubahan ikilm yang terjadi saat ini, diantaranya dengan mengurangi jumlah emisi karbon, reboisasi hutan, dan beragam hal lainnya. Dalam upaya menjaga kelestarian bumi, manusia merupakan unsur terpenting yang tidak bisa dipisahkan. Mereka bisa dikatakan menjadi decision maker (penentu keputusan) dan policy maker (pembuat kebijakan) terhadap kelangsungan kehidupan bumi. Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang menjadi kebiasaan-kebiasaan manusia (pola hidup) sangat berdampak terhadap bumi. Terjadinya krisis kerusakan lingkungan, krisis air, tanah, dan pangan selama ini lebih disebabkan ulah tangan manusia itu sendiri ketimbang oleh bencana alam.
Gaya hidup (life style) seseorang memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan konservasi alam. Hal itu mencakup kebiasaan makan, penggunaan kendaraan, barang-barang kosmetik, dan mengurangi pemakaian plastik. Pola kebiasaan makan misalnya, orang yang vegetarian (tidak memakan daging) memiliki pola makan yang ramah lingkungan ini dikarenakan mereka hanya tidak mengkonsumsi hasil ternak. Riset oleh Gidon Eshel dan Pamela Martin dari Universitas Chicago berkesimpulan, dengan mengganti pola makan hewani menjadi vegetarian, 50 persen lebih efektif mencegah global warming (kompas.com). Selain oleh karbondioksida (CO2) pemanansan global juga disebabkan oleh metana yang dihasilkan oleh lindustri peternakan. Artinya, dengan mengurangi konsumsi daging secara tidak langsung telah menekan jumlah emisi gas metana dan meminimalisir dampak perubahan iklim. laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) berjudul "Livestcok’s Long Shadow", melaporkan bahwa 18 persen pemanasan global yang terjadi saat ini akibat dari industri peternakan di dunia. Angka ini lebih besar dari pemanasan akibat seluruh (jenis) transportasi di dunia yang hanya 13 persen (kompas.com). Lain lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh salah satu organisasi pemerhati lingkungan greenpeace, dalam laporannya menyebutkan bahwa industri peternakan sapi merupakan penyebab terbesar pembabatan hutan di dunia. Penelitian greenpeace di hutan Amazon membuktikan bahwa 80% wilayah hutan disana habis digunakan untuk peternakan sapi dan lahan menanam kedelai untuk pakan ternak. Jadi jelas bahwa industri peternakan memiliki peranan penting dalam meningkatnya efek gas rumah kaca terhadap kondisi bumi. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam mencegah dampak dari pemanasan global adalah dengan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor. Seperti yang dijelaskan diatas, kendaraan bermotor merupakan penghasil utama gas CO2, dan tingkat CO2 di bumi saat ini telah mencapai 380 ppm, hampir mendekati angka 400 ppm yang menurut hasil penelitian Lynas berpotensi menaikan suhu bumi menjadi dua derajat celcius.
Program bike to work adalah salah satu solusi yang paling mudah untuk dilakukan guna mengurangi tingkat emisis karbon, karena sepeda tidak mengeluarkan emisi sebagaimana halnya kendaraan bermotor. Selain itu, gaya hidup bersepeda juga sangat baik untuk kesehatan, baik itu untuk pribadi maupun bumi. Perlu dicatat gaya hidup berkendara (bicycle lifestyle) sepeda merupakan upaya yang sangat simple namun bermanfaat besar.

Kamis, 18 Maret 2010

Mengembalikan Esensi “Demonstrasi”
Oleh Imam Solehudin*

Didalam kehidupan berdemokrasi, kebebasan menyatakan pendapat (aspirasi), termasuk mengkritisi kebijakan yang dibuat pemerintah adalah suatu hal yang sangat penting dalam upaya menciptakan suatu clean government serta good govenrment (tata kelola pemerintahan yang baik). Secara tegas negara menjamin kebebasan warganya dalam menyampaikan pendapat dan tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28. Ini membuktikan bahwa dalam menyampaikan aspirasinya, rakyat diberi kebebesan penuh oleh negara. Kebebasan yang diberikan pun harus dipahami bahwa bukan sebebas-bebasnya, tapi tetap berpegangan terhadap nilai moral dan etika.
Sebagaimana yang kita tau, akhir-akhir ini media sangat intens dalam memberitakan soal demonstrasi yang menjurus anarki (kerusakan). Secara terminologi, demonstrasi merupakan proses penyampaian aspirasi (jalan) terakhir ketika suatu masalah tidak menemui titik terang. Ini merupakan sesuatu hal yang lumrah dalam sebuah proses berdemokrasi. Demonstrasi juga bisa dikatakan sebagai upaya dalam melakukan intervensi terhadap pemerintah dalam mengkritisi setiap kebijakan yang dibuat.
Ada satu hal yang sering dilupakan masyarakat ketika melakukan demonstrasi, yaitu soal kesantunan/etika didalam menyampaikan pendapat. Tak jarang kita melihat aksi-aksi yang dilakukan para demonstran merugikan berbagai pihak.Mereka merusak berbagai fasilitas umum, mencederai orang, bahkan tak sedikit yang berujung pada kematian sehingga esensi demonstrasi yang sejatinya merupakan ciri dari sebuah negara demokrasi berubah menjadi aksi anarki. Etika dan sopan santun merupakan hal yang paling utama dalam setiap proses komunikasi. Tanpa adanya etika mustahil terjadi sebuah kesepahaman komunikasi. Dalam kaitannya dengan demonstrasi, pemerintah memang menjamin kebebasan dalam mengekspresikan aspirasinya, tapi bukan berarti demonstrasi menjadi kebablasan kemudian menajadi anarki.
Diperlukan sebuah persiapan matang memang ketika kita hendak melakukan aksi. Fungsi manajemen dalam demonstrasi sangat penting terutama untuk mengontrol massa. Hal ini berlaku juga untuk pihak aparat sebagai pengaman. Merekalah yang bertanggung jawab didalam mengontrol kondisi di medan aksi. Pihak aparat, terutama kepolisian pun harus betul-betul bersikap profesional terhadap para demonstran, karena tidak mungkin terjadi sebuah kericuhan tanpa ada sebab. Sering kita melihat bahwa beberapa oknum polisi melakukan tindak kekerasan terhadap para demonstran, dan tak jarang melakukan provokasi. Mari kita kawal proses demokrasi di negeri ini. Semoga peristiwa yang terjadi di Makasar beberapa waktu lalu bisa dijadikan sebuah pelajaran bagi kita semua.

Kamis, 11 Maret 2010

Minggu, 07 Maret 2010

Koalisi “Kebenaran”
Oleh Imam Solehudin
Entah sampai kapan pansus selesai menguak tabir kasus bailout bank century. Hingga tiga bulan masa kerja pansus, belum ada titik terang soal penyelesaian dana talangan bank sebesar 6,3 triliun itu. Justru yang terjadi malah sebaliknya, fraksi ـ fraksi yang ada di pansus kini terpecah menjadi dua kubu, pertama yang menyatakan bahwa pengucuran dana talangan century sudah sesuai dengan prosedur dan tidak melanggar. Kelompok ini diwakili oleh fraksi partai demokrat (FـPD), fraksi partai kebangkitan bangsa (F־PKB),dan fraksi partai persatuan pembangunan (F־PPP). Sedangkan enam fraksi lainnya seperti, PDIP, Hanura, Gerindra, Golkar, PKS, dan PAN bersepakat bahwa, telah terjadi pelanggaran terhadap pengucuran dana bailout century. Hal terebut diungkapkan dalam laporan kesimpulan sementara fraksi, terhadap kasus century beberapa waktu yang lalu.
Ada yang menarik disini, beberapa partai yang notabene berkoalisi dengan pemerintah, yakni fraksi PKS, PAN, Golkar, memiliki pandangan bertolak belakang dengan mitra koalisi mereka, yakni partai demokrat. Ketiga fraksi itu tetap berpendapat bahwa ada banyak indikasi pelanggaran pada proses bailout terhadap bank yang kini sudah berganti nama menjadi bank mutiara tersebut, oleh kubu pemerintah mereka dicap “membelot” terhadap pemerintah, sehingga sepertinya ingin menjatuhkan pemerintahan. Indikasi itu terlihat ketika mereka menyampaikan argumenـargumen soal century yang menyatakan bahwa mantan gubernur Bank Indonesia serta mantan ketua KSSK (Komite Strabilitas Sistem Keuangan), Boediono dan Sri Mulyani harus bertanggung jawab terhadap kasus ini. Pandanganـpandangan yang dilontarkan ketiga fraksi itu membuat gerah sejumlah para petinggi partai demokrat, mereka mendesak agar presiden SBY melakukan perombakan kabinet. Alasannya, mitra kolalisi partai yang sekarang dinilai sudah tidak loyal lagi terhadap pemerintah, mereka seolah־olah berjalan masing־masing, tidak sejalan lagi dengan pemerintah. Isu reshuffle kabinent pun mencuat, sejumlah nama־nama menteri diisukan akan diganti, seperti Siswono (menteri pertanian), Fadel Muhammad (menteri kelautan), dan Zulkifli Hasan (menteri kehutanan).
Pertanyaanya sekarang adalah apakah mungkin SBY melakukan perombakan kabinet yang baru seumur jagung ini?. Kebijakan reshuffle merupakan hak prerogratif presiden dan telah diatur dalam undangـundang. Intervensi dari partai seharusnya tidak perlu dilakukan, karena dalam hal ini SBY bukanlah sebagai pimpinan partai, melainkan pimpinan negara, artinya presiden dalam hal ini harus objektif dalam melakukan penilaian dan tidak mengambil keputusan karena atas desakan beberapa pihak, sehingga keputusan yang diambil bukan karena adanya unsur politis. SBY pun nampaknya harus berpikir ulang jika memang memutuskan untuk melakukan perombakan kabinet, bila itu terjadi masyarakat pasti akan menduga ada unsur politis dibalik pengambilan keputusannya. Selain itu, rakyat akan menilai bahwa SBY tidak konsisten dalam mengambil keputusan. Hal ini karena dalam sebuah pidato kenegaraaan yang disampaikannya beberapa waktu lalu, mengenai evaluasi 100 hari kinerja pemerintahannya, secara jelas presiden mengklaim bahwa seluruh menteri kabinet Indonesia Bersatu II, telah berhasil melaksanakan program kerja 100 hari dengan hasil sangat memuaskan, tak terkecuali menteri ـmenteri yang berasal dari ketiga parpol yang berbeda pandangan dengan pemerintahan (Golkar, PKS, dan PAN).
Dalam kehidupan berdemokrasi, berkoalisi adalah suatu hal yang penting dalam upaya memperkuat posisi pemerintah, tak terkecuali di parlemen. Sebuah partai yang memutuskan untuk berkongsi dengan pemerintah memang harus memiliki komitmen untuk menjadi pendukung pemerintah, namun bukan berarti sebuah koalisi harus tunduk dan patuh secara mutlak menuruti setiap kebijakan yang dibuat, karena tujuan dari berkoalisi haruslah semataـmata untuk mencipatakan pemerintahan yang bersih. Artinya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka pihak koalisi harus berani membongkarnya. Ini sebenarnya yang sering dilupakan, kesepakatan yang terjalin hanya untuk kekuasaan semata dan memperkuat bargaining position saja dimata rakyat, mereka lupa bahwa tugas berkoalisi bukan hanya untuk memperkuat otoritas Negara, melainkan melakukan controlling (pengawasan) terhadap jalannya pemerintahan, sehingga akan tercipta sebuah keseimbangan di dalam pemerintahan (good governance).