AyankMams

AyankMams

Kamis, 29 April 2010

Urgensi Infrastruktur Pendidikan

Oleh Imam Solehudin

Hasil Ujian Nasional (UN) beberapa hari yang lalu telah diumumkan. Presentasi tingkat kelulusan untuk SMA, SMK, dan MA mengalami penuruanan jika dibanding tahun lalu. Pada tahu 2009, tingkat kelulusan mencapai 93,4%, sedangkan untuk tahun ini 89,88 % atau turun 4% (Sindo,27/4). Tercatat untuk tahun 2010, dari total peserta UN 1.522.162, sebanyak 1.362.696 dinyatakan lulus sedangkan nasib 154.079 siswa lainnya tidak lulus.
Persoalan mengenai pendidikan memang menjadi permasalahan klasik di negeri kita. Pemerintah harus terus melakukan evaluasi terhadap kebijakan pendidikan ini. Mengenai ujian nasional misalnya, hampir disetiap penyelenggraan ujian nasional selalu ada masalah, entah itu soal pendistribusian atau isi soal itu sendiri. Akibatnya, proses penyelenggaraan UN pun mengalami kendala. Tak dipungkiri bahwa turunnya presentasi kelulusan UN salah satu faktornya karena hal tersebut.
Setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Pertama adalah mengenai sarana dan prasarana sekolah. Dibeberapa daerah kita sering menyaksikan masih banyak sekolah yang tidak layak. Padahal instrumen sekolah sangat vital terhadap keberlangsungan sebuah proses pendidikan. Kalau kita ibaratkan sekolah itu kapal dan penmpangnya murid, bagaimana mungkin penumpangnya bisa sampai ke tujuan bila “kapalnya” saja sudah tidak layak terbang.
Kedua adalah masalah tenaga pendidik. Guru sebagai pendidik memiliki peran yang sangat besar dalam menghasilkan murid-murid yang berkualitas. Ditangan merekalah anak didiknya akan berhasil atau tidak. Sayang, pengorbanan mereka tidak sebanding dengan hasil yang didapat. Kesejahteraan mereka masih sangat minim. Soal status misalnya, masih banyak guru yang menjadi guru tidak tetap alias tenaga honorer. Pendapatan mereka masi jauh dari cukup, kadang mereka mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masih ingat tentang kisah kepala sekolah yang juga menjadi pengemis? Bayangkan saja, itu terjadi pada sebuah sekolah yang berada di pusat Ibu kota (Jakarta), mungkin ini hanya terjadi di negeri kita saja. Kemudian mengenai kualitas dan kualitas pendidik. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kompetensi guru belum merata. Hal ini bisa dilihat di beberapa daerah masih banyak tenaga pendidik yang kompetensi mengajarnya tidak layak.
Pemerintah memang telah menganggarkan dana 20% dari APBN untuk pendidikan. Namun, anggaran sebesar itu, belum juga bisa membuat pendidikan semakin baik. Masih banyaknya masalah yang menimpa dunia pendidikan membuktikan bahwa ada sesuatu yang salah dalam mekanisme penyaluran anggaran pendidikan. Praktik korupsi, pengutan liar, nampaknya tidak bisa hilang di kalangan para birokrat negeri ini. Fungsi pengwasan pemerintah masih sangat lemah bila kita perhatikan. Praktik penyelewengan dana masih sangat rawan. Bantuan operasional sekolah (BOS) yang seyogyanya diperuntukan untuk kesejahteraan sekolah, masih diwarnai praktik korupsi oleh oknum sekolah. Ini bisa jadi karena rendahnya tingkkat kesejahteraan pada pendidik sehingga praktik-praktik kotor seperti itu tetap terjadi./MAM

Senin, 26 April 2010

Fenomena Kongres Partai Politik Oleh Imam Solehudin

Suhu perpolitikan negeri kita mulai kembali terasa. Hal ini ditandai dengan berlangsungya beberapa kongres partai politik serta ormas keagamaan Indonesia. Nahdatul Ulama mengwalinya dengan menggelar muktamar NU yang dilaksanakan di Makasar beberpa waktu yang lalu. Keluar sebagai “pemenang” Said Aqil Siradj dan Sahal Mahfudz. Masing-masing sebagai ketua umum PBNU serta ketua dewan Tanfidz. Menarik bila kita melihat konstelasi politik saat pemilihan itu, bumbu-bumbu kepentingan politik dari salah satu parpol sempat diisukan mampir ke ajang paling akbar ormas Islam terbesar itu. Kemenangan said dan sahal disinyalir karena adanya campur tangan dari Cikeas. Masuk akal memang, bila parpol berlomba-lomba mendekati ormas islam seperti NU. Basis masa mereka sangat besar, dan mereka sangat patuh terhadap titah pimpinan. Tapi, lewat pernyataannya, said aqil siradj mengungkapkan bahwa NU harus kembali ke khittahnya (tujuan awal). Menurutnya, ketika ada warga NU yang terjun ke Politik, maka mereka jangan menggunakan isntitusi sebagai kendaraan politiknya. Pendapat ketum NU terpilih tersebut memang masuk akal, sangat disayangkan memang bila ormas islam seperti NU terjun kepada politik praktis.
Pasca pelaksanaan muktamar NU, geliat konstelasi politik Indonesia kembali hangat. Kali ini, Partai berlambang moncong putih megadakan kongres di Bali. Keputusan mengenai arah partai menjadi agenda penting, apakah akan borkoalisi/menajdi mitra pemerintah atau tetap menajadi oposisi pemerintah. Isu mengenai koalisi dengan pemerintah santer menjadi pembicaraan publik, karena ketua dewan pertimbangan partai PDIP yang notabene suami Megawati, memberikan statment bahwa ada kemungkinan PDIP berkoalisi dengan pemerintah. Setelah melewati musyawarah seluruh DPD partai, secara aklamasi akirnya megawati soekarnoputri kembali terpilih sebagai ketua umum PDIP untuk kesekian kalinya. Sebagian besar kalangan partai menilai bahwa, figur mega masih dibutuhkan partai. Apalagi dengan kondisi partai yang mengalami penurunan konstituen pada pemilu. Mega pun langsung menentukan sikap, wacana koalisi menjadi isu utama saat mega menyampaikan pidatonya. Dengan tegas dia menyatakan bahwa PDIP akan tetap menjadi oposisi, dan menolak menjadi mitra koalisi peemrintah. Menurutnya, PDIP tetap akan menjadi partai “wong cilik”. Bila PDIP jadi menjadi mitra koalisi pemerintah, bisa dibayangkan semakin kuatnya posisi pemerintah di parlemen. Tidak ada lagi keseimbangan, dinamisasi politik pastinya tidak akan terjadi karena peemrintah bisa mengontrol parlemen sepenuhnya. Disinilah bahayanya, karena bila ini sampai terjadi maka akan tercipta sebuah kekuasaan yang absolut. Saya teringat mengenai sebuah ungkapan dari soerang filsafat Yunani bahwa kekuasaan yang absolut cenderung akan korup. Memang ada benarnya ucapannya, ketika sebuah pemerintahan absolut, artinya fungsi controlling akan lemah, serta monitoring terhadap kebijakan pemerintah tidak berarti apa-apa. Ruang untuk praktik korupsi, deal-deal kasus akan marak terjadi.
Kongres parpol yang saat ini sedang ditunggu-tunggu adalah partai demokrat. Dalam waktu dekat partai berlambang mercy itu akan melaksanakan kongres yang sedianya digelar di Bandung. Dua kandidat dipastikan memperebutkan posisi “demokrat 1”. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Malaranggeng serta mantan Ketua Umum PB HMI Anas Urbaningrum bertarung memperebutkan kursi ketua umum PD. Aroma persaingan mulai menyeruak, isu black campaign yang dilakukan salah satu calon ketum menyeruak. Saling klaim dukungan nampaknya sudah menjadi “bumbu peyedap” disetiap kongres parpol. AM menilai dirinya telah mendapat restu dari RI 1 yang notabene adalah ketua dewan pembina PD. Dengan sesumbar, adik dari politisi Rizal Malaranggeng tersebut telah mendapat dukungan 80 % dari seluruh DPC. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, andi mengeluarkan statment bernada sedikit meremehkan anas. AM menawari Anas kursi sekjen dan menyerukan agar segera mundur. Namun, seperti biasa anas hanya menanggapi dengan santai. Kewibaan serta pembawaan anas yang tenang membuat tim suksesnya yakin bahwa mantan anggota KPU itu keluar menjadi “jawara” demokrat 1. Siapapun yang akan menjadi PD 1 pastinya memiliki tugas berat. Pertama, mereka harus mempertahankan eksistensi Parpol Demokrat selaku pemenang pemilu. Kedua, meningkatkan citra parpol yang saat ini mulai menurun akibat beberapa kasus, terutama century. Lima tahun kepemimpinan ketua umum partai akan berpengaruh terhadap kondisi parpol secara menyeluruh. SBY tentunya sudah mempertimbangkan matang-matang soal ini. Berhembus kabar bahwa SBY lebih condong kepada AM daripada anas. Pernyataan tersebut seperti yang diungkap oleh Ibas, putra SBY yang juga pengurus partai demokrat.
Menarik memang bila kita cermati konstelasi politik di negeri kita ini. Tahun ini, setidaknya ada tiga parpol yang telah mengadakan kongres. Ancang-ancang menuju pemilu 2014 nanti sepertinya sudah digalakan oleh parpol. Penyusunan Grand Design parpol akan menentukan nasib mereka di pemilu nanti.

Kamis, 22 April 2010

Memaknai Hari Kartini
Oleh Imam Solehudin

Setiap tanggal 21 april hampir sebagian besar kaum hawa di Indonesia memperingati hari kartini. Hari dimana lahirnya salah satu tokoh pelopor pergerakan wanita Indonesia, yang selama masa hidupnya dihabiskan untuk mengabdi ada bangsa Indonesia, terutama dalam memperjuangkan hak-hak kesesetaraan wanita atau populer dengan istilah “emansipasi” wanita. Perayaannya beragam, tapi yang paling khas adalah pemakaian kebaya. Balutan busana yang dikenakan para wanita ini merupakan bisa dibilang merupakan simbol dari perayaan hari kartini. Sayang, peringatan hari kartini hanya sebatas seremonial semata. Sedikit orang yang benar-benar memaknai hari kartini. Padahal banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari sosok wanita yang lahir pada 21 april 1879 silam tersebut. Semangat perjuangan, kesederhanaan, pengabdian yang tulus, merupakan segelintir sifat dari wanita bernama lengkap Raden Ajeng Kartini ini.
Kartini dilahirkan di kota Jepara, dia merupakan anak dari dari bangsawan. Ayahnya adalah seorang bupati begitu juga dengan saudara-saudaranya. Namun, status bangsawan yang melekat pada kartini tidak membuatnya menjadi seorang yang angkuh serta berperilaku “hedon” sebagimana lainnya. Justru dia memanfaatkan keadaan tersebut untuk mengabdikan dirinya pada masyarakat pribumi. Orang tuanya merupakan salah satu orang keprcayaan pemerintah Hindia-Belanda pada waktu itu. Meskipun kedua orangtuanya merupakan antek Belanda, kartini tetap seorang nasionalis yang cinta akan tanah airnya. Dia begitu iba melihat penderitaan saudara-saudaranya yang tertindas akbat penajajahan. Rasa cinta kartini dibuktikannya dengan mendirikan sekolah untuk warga pribumi miskin yang notabene tidak memiliki kesempatan bersekolah, karena pada waktu itu pemerintah Hindia-Belanda hanya memberikan pendidikan untuk kalangan ningrat saja, tidak untuk masyarakat kelas bawah. Dengan penuh pengabdian yang tulus serta kecintaannya terhadap bangsa, kartini mengajari murid-muridnya dengan sabar dan ihklas. Aktifitas yang dilakukan kartini bukan tanpa rintangan, banyak dari mereka termasuk keluarganya sendiri menentang apa yang dilakukannya, terlebih pemerintah Hindia-Belanda. Walaupun mendapat tentangan keras, kartini tetap bersikeras melanjutkan perjuangannya dalam memajukan pendidikan kaum wanita.
Cerita singkat mengenai perjuangan dan pengabdian kartini diatas dapat kita jadikan contoh, bagaimana sosok seorang kartini yang begitu tetap sederhana, meskipun dia berasal dari keluarga bangsawan. Kelimpahan materi, kekuasaan yang dimiikinya, dipergunakan untuk kesejahteraan warga pribumi. Dia tidak silau akan kekayaan materi serta kekuasaan. Inilah wujud nyata dari salah seorang pahlawan bangsa yang mesti diteladani. Bila dikaitkan dengan perjuangan dan pengabdian kartini, sebagai insan akademis (mahasiswa), sudah menjadi kewajiban kita untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dari bangku kuliah bagi masyarakat. Rasa kepekaan terhadap masyarakat harus dipupuk sejak dini agar nantinya tidak menjadi seorang selfish (egois) yang hanya mementingkan diri sendiri. Semoga nilai-nilai perjuangan kartini bisa menjadi panutan dalam setiap langkah kita.

Selamat Hari Kartini !