AyankMams

AyankMams

Jumat, 03 Februari 2012

Pengurus KONI dan Ketua Pengcab Terancam Dicopot

Keluarnya surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 800/148/sj tertanggal 17 Januari 2012, membuat sejumlah pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Depok beserta ketua pegurus cabang olahraga (pengcabor) terancam harus mundur.

Pasalnya, dalam surat edaran tersebut dengan tegas menyebutkan kalau kepala daerah, wakil rakyat serta Pegawai Negeri Sipil (PNS) rangkap jabatan, baik itu sebagai pengurus KONI ataupun pengcabor, adanya surat edaran tersebut mempertegas surat sebelumnya Nomor 800/2398/sj yang dikeluarkan Mendagri Gamawan Fauzi, 26 Juni 2011 lalu. Surat tersebut juga sekaligus menjadi penegasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Olahraga Nasional dan Pasal 56 Ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.

Kepada Radar Depok, Kamis (2/2), Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi (Binpres) KONI Jawa Barat Yudha M Saputra mengatakan, pada prisipnya pihaknya mendukung dengan adanya surat edaran tersebut. Bahkan jauh sebelum dikeluarkannya surat edaran terbaru itu, KONI Jabar telah mengimplementasikannya.

Salah satunya dengan mundurnya Sekretaris Umum (Sekum) KONI Jabar, Pak Iswara (DPRD Jawa Barat). Karena kalau merujuk dari peraturan Mendagri, unsur dari dewan memang tak diperbolehkan menjadi pengurus (KONI atau Pengcabor, red),” ujarnya.

Terkait adanya Ketua Pengcab dan Pengurus KONI di daerah yang berstatus sebagai PNS, atau yang dimaksud di dalam surat edaran, Yudha-sapaannya-mengembalikan sepenuhnya kepada KONI Daerah. “Sejauh ini kami masih melakukan pengkajian. Soal itu (keharusan pengunduran dari pengurus, red), saya pikir untuk saat ini dikembalikan dahulu ke pihak KONIDA (KONI Daerah Kota/Kabupaten). Dikhawatirkan nantinya dapat mengganggu roda organisasi,” ungkap dia.

Di kepengurusan KONI dan Pengcab Kota Depok sendiri, tak sedikit penjabat struktural dan PNS di lingkungan pemerintah yang memiliki rangkap jabatan. Bahkan beberapa kepala dinas ada yang menjabat sebagai Ketua Pengcabor.

Mengomentari hal ini, Anggota Bidang Organisasi KONI Kota Depok Tondo Wiyono, siap melaksanakan apa yang diamanahkan Mendagri. “Kalau memang itu aturannya, kami siap saja. Tapi sejauh ini KONI Depok belum mendapat arahan dari KONI Jabar. Saya pikir harus dikaji terlebih dahulu, “ pungkas dia kepada awak media ini saat ditemui di Kantor Sekretariat KONI Kota Depok. (mam)

Jumat, 03 September 2010

Diplomasi “Memble” ala Pemerintah

Oleh Imam Solehudin

Minggu ini berita di seluruh harian nasional mengupas isu yang hamper sama, yakni soal ketegangan hubungan Indonesia- Malaysia. Aksi Demonstrasi yang dilakukan masa bebebrapa waktu lalu di depan kedutaan besar Malaysia membuat hubungan dua negara teangga itu kembali memanas. Seperti yang diberitakan masa melempari kedubes Malaysia, sebagai bentuk kekecewaan terhadap tindakan sewenang-wenang aparat negeri Jiran yang menangkap dua petugas DKP.

Sayang, sikap pemerintah kita justru berbanding terbalik dengan rakyat. SBY lewat pidato kenegaraannya kembali memeperlihatkan ketidaktegasannya sebagai pemimpin bangsa. Lewat pidatonya, SBY seolah-olah takut bila kita memutuskan hubungan dengan Malaysia. Salah satu alasannya karena keberadaan para TKI yang jumlahnya lebih dari 2 juta jiwa mengais rejeki disana. Bila melihat dari perspektif lain, justru ini yang menjadi senjata kita untuk mengancam Malaysia. Bayangkan saja, jika seluruh TKI ditarik oleh pemerintah, bisa dipastikan mereka akan kelabakan. Proses pembangunan infrastruktur dipastikan akan terhambat, sebab mayoritas pekerjanya berasal dari Indonesia.

Presiden terkesan lembek dalam merespon tindakan Malaysia. Padahal, bukan kali ini saja mereka membuat ulah. Sudah sudah sering mereka menginjak-injak harga diri bangsa. Contoh konkretnya adalah bagaimana nasib para TKW yang mengalami tindak kekerasan. Berapa banyak dari mereka yang hingga kini proses hukumnya belum juga tuntas.

Diplomasi “memble” yang ditujukan pemerintah justru bukannya mendinginkan suasana, malah membuat rakyat kita semakin memanas. Rakyat menginginkan sikap yang tegas menyikapi persoalan ini. Bukan apa apa, sebab hal ini menyangkut persoalan kedaulatan bangsa. Bagaimana mungkin bangsa kita akan dihargai oleh negara lain, jika kedaulatan negera kita saja tidak dihormati..

Pemerintah nampaknya harus berkaca pada kepemimpinan Soekarno yang tegas. Ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia, dengan lantangya presiden pertama NKRI tersebut meneriakan slogan “Ganyang Malaysia”. Inilah bukti konkret seorang pemimpin yang begitu responsive dan reaktif terhadap persoalan bangsa. Seandainya saja Soekarno masih hidup, pastilah beliau akan tertawa melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini.

Selasa, 03 Agustus 2010

Kenakalan DPR (Yang Gak Pernah Abiz), “RUMAH ASPIRASI”
















Oleh Imam Solehudin

Membicarakan mengenai kelakuan anggota DPR memang tidak akan pernah ada habisnya. Selalu ada sisi menarik di setiap maneuver yang mereka lakukan, entah itu negative maupun positif. Baru-baru ini, sejumlah anggota dewan kembali menggulirkan sebuah wacana “Super Konyol”, bila dulu sempat mewacanakan “Dana ASPIRASI” (Fork Barel), kini mereka mengusulkan “Rumah Aspirasi”. Tujuannya, untuk menampung aspirasi para konstituen di daerah asal dewan. Dananya pun cukup fantastis, 200 juta rupiah per rumah. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah tepat kebijakan tersebut dalam menjaring aspirasi masyarakat?. Tidak adakah cara lain dalam menerima keluhan rakyat?. Bila parameter efektifitas, jelas “Rumah Aspirasi” bukanlah solusi tepat, karena masih ada yang lebih efektif yakni media.

Contohnya konkretnya Amerika Serikat, di negara yang dipimpin Barrack Obama tersebut, pemerintahannya memanfaatkan situs web sebagai tempat masyarakat menyampaikan keluh kesah. Melalui media internet, mereka bebas mengutarakan uneg-uneg terhadap pemerintah. Ini tentunya bisa dijadikan contoh oleh pemerintahan kita. Selain efektif, biaya yang dikeluarkan sangat murah. Memang, kelemahan dari sistem ini adalah tidak semua lapisan masyarakat bisa mengaksesnya, karena tidak meratanya tingkat penguasaan teknologi di negeri kita. Namun, masalah tersebut sebenarnya bisa diatasi. Bukankah dalam setiap periode terdapat apa yang dinamakan masa reses?. Pada momen inilah sebenarnya para anggota dewan menjaring aspirasi rakyat. Sayang, justru yang terjadi malah sebaliknya. Beberapa dari mereka malah ada yang bepergian ke luar negeri, kendati tidak jelas maksud dan tujuannya. Mereka berkilah dengan alasan study banding, padahal sebenarnya itu hanya sebuah kedok. Intinya para wakil rakyat itu malas untuk turun ke lapangan (masyarakat). Digaungkan lah usulan “Proyek Rumah Aspirasi”. Kalau seandainya jadi direalisasikan, berapa banyak kas negara yang dikeluarkan. Estimasinya, jumlah wakil rakyat sekarang adalah 560, jika dikalikan 200 juta maka total dana yang harus dikeluarkan berjumlah 112 Milliar. Dana sebesar itu sebaiknya dialokasikan terhadap sector-sektor lain yang memang membutuhkan semisal pendidikan.

Masalah selanjutya mengenai pengawasan terhadap dananya nanti. Apa betul-betul digunakan untuk membangun rumah yang katanya untuk rakyat? atau untuk proyek “sampingan” dewan?. Kekhawatiran masyarakat adalah dijadikannya kebijakan “Rumah Aspirasi” sebagai lahan korupsi. Sangat masu akal memang bila kita melihat track record sebagian anggota dewan saat ini. Hitung saja, berapa banyak dari mereka yang saat ini sedang menghadapi proses hukum. Belum lagi mengenai kredibilitas masyarakat yang cenderung mulai pesimis terhadap kinerja angggota dewan. Contohnya saja soal kehadiran para wakil rakyat, menurut data harian Kompas, prersentase tingkat kehadiran terus mengalami penurunan. Belum lagi Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) yang terancam tidak akan tercapai, karena hingga hari ini saja, jumlah RUU yang diselesaikan baru 7 dari yang dicanangkan sebelumnya sebanyak 70.

Sudah saatnya para anggota DPR melakukan Introspeksi diri terhadap kinerjanya. Apakah benar selama ini mereka telah menjalankan amanahnya dengan baik?. Janganlah membuat kebijakan yang justru hanya menambah panjang derita rakyat.

Sabtu, 31 Juli 2010

Mahasiswa Pembelajar



Oleh: Imam Solehudin

Andreas Harefa, dalam bukunya berjudul manusia pembelajar (Kompas, 2000) mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan tiga tugas pokok, yaitu menjadi seorang pembelajar yang terus menerus belajar di “sekolah besar” (kehidupan nyata), menjadi pemimpin sejati, dan menjadi guru bangsa bagi bangsannya.

Pendapat diatas sangat relevan bila dikaitkan dengan tugas seorang mahasiswa dalam membangun masyarakat. Setidaknya ada sebuah proses yang harus dilalui guna membentuk karakter insan akademis yang berjiwa sosial, sehingga mampu berkontribusi terhadap masyarakat.

Proses itu bernama pembelajaran, bagaimana seorang mahasiswa mampu mentransformasikan dirinya menjadi mahasiswa pembelajar. Maksudnya mereka tidak hanya belajar dari apa yang didapat dari bangku kuliah, tapi memiliki kesadaran untuk belajar dengan dunia luar, dalam hal ini apa yang disebut Andreas Harefa sebagai “sekolah besar” (masyarakat). Proses pemebelajaran di sekolah ini tidak akan pernah usai hingga akhir hayat. Sungguh disayangkan, saat ini masih banyak yang menganggap nilai akademis adalah segalanya, seolah IPK menjadi main goal (tujuan utama) dalam proses pendidikan. Munculah mahasiswa-mahasiswa individualistis dan tidak memiliki kepekaan sosial. Terbentuklah Mindset belajar yang hanya berorientasi pada bagaimana mendapat nilai tinggi dan kemudian mendapat pekerjaan layak. Ini berimplikasi terhadap proses pemebelajaran setelah lulus dari bangku kuliah. Bagi yang hanya berorientasi pada perburuan gelar akademis, ketika berhasil meraihnya, mereka akan beranggapan bahwa tugas belajar telah selesai. Sebuah gambaran realita yang tidak asing lagi tentunya. Ijazah sudah menjadi simbol, pertanda gugurnya kewajiban untuk belajar. Sadar atau tidak itulah yang terjadi sekarang.

Berbeda halnya dengan seorang mahasiswa pembelajar, tujuan utamanya adalah mendapat ilmu sebanyak mungkin untuk peningkatan kualitas hidup dirinya dan orang lain (masyarakat). Didalam dirinya sudah tertanam jiwa sosial yang tinggi. Jika pun telah lulus kuliah, mereka tidak akan berhenti belajar, sebab dalam proses pemebelajaran, tidak ada kata berhenti sepanjang denyut nadi masih berdetak. Justru ini langkah awal dalam mengimplementasikan ilmu yang didapat kepada masyarakat.

Tantangan terbesar terletak pada perguruan tinggi, bagaimana caranya mengarahkan mahasiswa untuk lebih sadar akan tugas dan tanggungjawabnya ,dengan kata lain menjadi mahasiswa pembelajar. Sistem pendidikan yang ada sekarang masih berkutat pada peningkatan askpek akademis saja (IQ). Padahal ada aspek yang jauh penting, yakni character building (pembangunan karakter).

Kekakuan sistem pendidikan perguruan tinggi saat ini, membuat mahasiswa seperti “burung beo”, pandai berucap namun tidak tahu maknanya. Kebebasan berkreatifitas seolah menjadi barang langka karena telah terkekang dengan doktrin-doktrin yang diberikan di bangku kuliah. Akibatnya mereka tidak bebas dalam berkreasi, bersekspresi, dan beraktualisasi.

Kamis, 29 Juli 2010

Anggota Dewan Titip Absen



Oleh Imam Solehudin
Penyelidikan yang dilakukan Badan Kehormatan (BK) DPR terkait ulah anggota dewan yang “titip absen”, menjadi sebuah pertanda akan buruknya kinerja anggota dewan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya seperti pengumuman kepada publik, tren “titip absen” masih menjadi tradisi yang sulit dihilangkan.
Wajah lembaga eksekutif negara ini mulai tercoreng, akibat kelakuan para anggotanya. Tingkat kredibilitas masyarakat terhadap mereka semakin menurun. Salah seorang anggota fraksi Golkar, Jefry Geovany, seperti yang diberitakan salah satu media cetak nasional, dilaporkan tidak mengikuti sidang sebanyak enam kali. Inilah akibatnya bila masyarakat tidak cermat dalam memilih wakil rakyat.
Entah sampai kapan tabiat buruk ini akan hilang…….
Wahai para wakil rakyat,
SADARLAH…kalian memikul amanat yang besar
SADARLAH…Akan tiba dimana masa pertanggungjawabab kalian
SADARALAH..Kekuasaan yang kini diemban akan sirna

Senin, 26 Juli 2010

Ulah “NAKAL” DPR



Oleh Imam Solehudin
Kelakuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat lagi-lagi sangat mengecewakan. Setelah tercoreng akibat beberapa skandal, kali ini para legislator itu tengah disorot mengenai tingkat kedisiplinan yang “memble”. Rasanya benar apa yang dikatakan oleh alm mantan presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur,) mengenai anggota DPR yang disebutnya sebagai perkumpulan anak-anak TK. Yang tak pernah dewasa, dalam bersikap, yang tak pernah sadar akan amanah yang dipegangnya. Beradasarkan laporan kerumahtanggaan DPR mengenai tingkat kehadiaran anggota dewan, ditemukan bahwa sebagian besar anggota sering membolos dalam rapat, tanpa alasan yang jelas. Untuk itulah, DPR mewacanakan untuk menggunakan system absen fingerprint dalam melakukan absensi. Jelas, ini menunjukan bahwa kinerja para legislator kita bisa dikatakan “memble”. Kalau mereka sadar, sebenarnya tak perlu system itu diterapkan. Self Awareness akan seorang wakil rakyat nampaknya mulai luntur, mungkin karena saking nikmatnya fasilitas seorang dewan, atau karena sibuk menangani proyek ”dadakan” untuk mengejar biaya selama kampanye dulu. Patut dipertanyakan memang, karena hingga hari ini, kinerja mereka belum memuaskan. Yang ada malah penurunan tingkat kepercayaan masyarakat. Hasil salah satu survey harian nasional mengungkapkan bahwa masyarakat mulai pesimis dengan komitmen anggota dewan sekarang. Kasus bank century misalnya, penyelesaian kasus yang merugikan negara hingga 6,7 truliun itu kembali “mengambang”, padahal keputusan DPR telah bulat bahwa kebijakan bailout melanggar hukum. Belum lagi soal program legislasi nasional (prolegnas) yang mandet ditengah jalan. Anehnya, jika mereka memabahas mengenai kebijakan yang UUD (ujung-ujungnya DUIT), semangatnya begitu menggebu-gebu. Lihat saja saat beberapa waktu yang lalu membahas mesalah aspirasi, salah satu fraksi bahkan sangat ngotot untuk menggolkan kebijakan yang juga disebut fork barrel (genting babi) itu. Kemanakah mereka?Entahlah, disaat rakyat menderita dengan tingginya harga bahan pokok, ledakan tabung gas yang kian marak, mereka malah melakukan tindakan yang sungguh tidak mencerminkan sebagai seorang pelayan rakyat.

Jumat, 23 Juli 2010

Refleksi HARI ANAK NASIONAL…..



Oleh Imam Solehudin

Potret anak Indonesia selalu menampilkan wajah yang berlainan, di satu sisi, kesejahteraan calon tunas bangsa itu diselimuti kekhwatiran. Indikatornya dapat terlihat dari jumlah anak putus sekolah yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Padahal aspek pendidikan sangat berpengaruh terhadap masa depan mereka. Keterbatasan ekonomi menjadi penyebab nomor wahid, mereka tak kuat dengan biaya sekolah yang mencekik. Alih-alih sekolah, mereka lebih memilih “terjun” ke jalanan untuk mencari nafkah, entah itu mengamen ataupun meminta-minta. Mungkin bagi anda yang tinggal di kota-kota besar, pemandangan para anak jalanan menjadi suatu hal yang lumrah. Sebagai contoh kota Bogor, hamper disetiap pertigaan jalan utama, pengemis, gelandangan, dan pengamen selalu menghiasi sepanjang jalan. Kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja, karena apa yang dilakukan oleh mereka memang sangat berasalan, yakni menyambung hidup. Pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar terhadap nasib mereka. Pasal 34 dalam UUD 1945 mengatakan bahwa, “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negera”. Sayang, implementasinya sangat jauh dari kata berhasil. Yang terjadi justru adalah penelantaran. Soal anak jalanan misalnya, upaya yang dilakukan sejauh ini kurang efektif, hanya semacam shock therapy seperti razia. Tindakan-tindakan yagn bersifat mentorship (pembinaan) masih minim. Jika pun dilakukan pembinaan, hanya sekedar penyuluhan sehingga setelah itu mereka kembali lagi kejalan. Hal tersebut terus berulang-ulang sampai sekarang. Seharusnya, pemerintah dalam hal ini departemen social, mengubah pola pembinaan bagi anak jalanan. Harus diupayakan long term mentorship (pembinaan jangka panjang) agar ketika mereka selesai dibina, mereka tidak turun kembali ke jalan. Semoga dengan peringatan anak untuk kesekian kalinya, para tunas bangsa Indonesia bisa lebih baik, terutama dalam pendidikan