AyankMams

AyankMams

Sabtu, 31 Juli 2010

Mahasiswa Pembelajar



Oleh: Imam Solehudin

Andreas Harefa, dalam bukunya berjudul manusia pembelajar (Kompas, 2000) mengemukakan bahwa manusia dilahirkan dengan tiga tugas pokok, yaitu menjadi seorang pembelajar yang terus menerus belajar di “sekolah besar” (kehidupan nyata), menjadi pemimpin sejati, dan menjadi guru bangsa bagi bangsannya.

Pendapat diatas sangat relevan bila dikaitkan dengan tugas seorang mahasiswa dalam membangun masyarakat. Setidaknya ada sebuah proses yang harus dilalui guna membentuk karakter insan akademis yang berjiwa sosial, sehingga mampu berkontribusi terhadap masyarakat.

Proses itu bernama pembelajaran, bagaimana seorang mahasiswa mampu mentransformasikan dirinya menjadi mahasiswa pembelajar. Maksudnya mereka tidak hanya belajar dari apa yang didapat dari bangku kuliah, tapi memiliki kesadaran untuk belajar dengan dunia luar, dalam hal ini apa yang disebut Andreas Harefa sebagai “sekolah besar” (masyarakat). Proses pemebelajaran di sekolah ini tidak akan pernah usai hingga akhir hayat. Sungguh disayangkan, saat ini masih banyak yang menganggap nilai akademis adalah segalanya, seolah IPK menjadi main goal (tujuan utama) dalam proses pendidikan. Munculah mahasiswa-mahasiswa individualistis dan tidak memiliki kepekaan sosial. Terbentuklah Mindset belajar yang hanya berorientasi pada bagaimana mendapat nilai tinggi dan kemudian mendapat pekerjaan layak. Ini berimplikasi terhadap proses pemebelajaran setelah lulus dari bangku kuliah. Bagi yang hanya berorientasi pada perburuan gelar akademis, ketika berhasil meraihnya, mereka akan beranggapan bahwa tugas belajar telah selesai. Sebuah gambaran realita yang tidak asing lagi tentunya. Ijazah sudah menjadi simbol, pertanda gugurnya kewajiban untuk belajar. Sadar atau tidak itulah yang terjadi sekarang.

Berbeda halnya dengan seorang mahasiswa pembelajar, tujuan utamanya adalah mendapat ilmu sebanyak mungkin untuk peningkatan kualitas hidup dirinya dan orang lain (masyarakat). Didalam dirinya sudah tertanam jiwa sosial yang tinggi. Jika pun telah lulus kuliah, mereka tidak akan berhenti belajar, sebab dalam proses pemebelajaran, tidak ada kata berhenti sepanjang denyut nadi masih berdetak. Justru ini langkah awal dalam mengimplementasikan ilmu yang didapat kepada masyarakat.

Tantangan terbesar terletak pada perguruan tinggi, bagaimana caranya mengarahkan mahasiswa untuk lebih sadar akan tugas dan tanggungjawabnya ,dengan kata lain menjadi mahasiswa pembelajar. Sistem pendidikan yang ada sekarang masih berkutat pada peningkatan askpek akademis saja (IQ). Padahal ada aspek yang jauh penting, yakni character building (pembangunan karakter).

Kekakuan sistem pendidikan perguruan tinggi saat ini, membuat mahasiswa seperti “burung beo”, pandai berucap namun tidak tahu maknanya. Kebebasan berkreatifitas seolah menjadi barang langka karena telah terkekang dengan doktrin-doktrin yang diberikan di bangku kuliah. Akibatnya mereka tidak bebas dalam berkreasi, bersekspresi, dan beraktualisasi.

Kamis, 29 Juli 2010

Anggota Dewan Titip Absen



Oleh Imam Solehudin
Penyelidikan yang dilakukan Badan Kehormatan (BK) DPR terkait ulah anggota dewan yang “titip absen”, menjadi sebuah pertanda akan buruknya kinerja anggota dewan. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya seperti pengumuman kepada publik, tren “titip absen” masih menjadi tradisi yang sulit dihilangkan.
Wajah lembaga eksekutif negara ini mulai tercoreng, akibat kelakuan para anggotanya. Tingkat kredibilitas masyarakat terhadap mereka semakin menurun. Salah seorang anggota fraksi Golkar, Jefry Geovany, seperti yang diberitakan salah satu media cetak nasional, dilaporkan tidak mengikuti sidang sebanyak enam kali. Inilah akibatnya bila masyarakat tidak cermat dalam memilih wakil rakyat.
Entah sampai kapan tabiat buruk ini akan hilang…….
Wahai para wakil rakyat,
SADARLAH…kalian memikul amanat yang besar
SADARLAH…Akan tiba dimana masa pertanggungjawabab kalian
SADARALAH..Kekuasaan yang kini diemban akan sirna

Senin, 26 Juli 2010

Ulah “NAKAL” DPR



Oleh Imam Solehudin
Kelakuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat lagi-lagi sangat mengecewakan. Setelah tercoreng akibat beberapa skandal, kali ini para legislator itu tengah disorot mengenai tingkat kedisiplinan yang “memble”. Rasanya benar apa yang dikatakan oleh alm mantan presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur,) mengenai anggota DPR yang disebutnya sebagai perkumpulan anak-anak TK. Yang tak pernah dewasa, dalam bersikap, yang tak pernah sadar akan amanah yang dipegangnya. Beradasarkan laporan kerumahtanggaan DPR mengenai tingkat kehadiaran anggota dewan, ditemukan bahwa sebagian besar anggota sering membolos dalam rapat, tanpa alasan yang jelas. Untuk itulah, DPR mewacanakan untuk menggunakan system absen fingerprint dalam melakukan absensi. Jelas, ini menunjukan bahwa kinerja para legislator kita bisa dikatakan “memble”. Kalau mereka sadar, sebenarnya tak perlu system itu diterapkan. Self Awareness akan seorang wakil rakyat nampaknya mulai luntur, mungkin karena saking nikmatnya fasilitas seorang dewan, atau karena sibuk menangani proyek ”dadakan” untuk mengejar biaya selama kampanye dulu. Patut dipertanyakan memang, karena hingga hari ini, kinerja mereka belum memuaskan. Yang ada malah penurunan tingkat kepercayaan masyarakat. Hasil salah satu survey harian nasional mengungkapkan bahwa masyarakat mulai pesimis dengan komitmen anggota dewan sekarang. Kasus bank century misalnya, penyelesaian kasus yang merugikan negara hingga 6,7 truliun itu kembali “mengambang”, padahal keputusan DPR telah bulat bahwa kebijakan bailout melanggar hukum. Belum lagi soal program legislasi nasional (prolegnas) yang mandet ditengah jalan. Anehnya, jika mereka memabahas mengenai kebijakan yang UUD (ujung-ujungnya DUIT), semangatnya begitu menggebu-gebu. Lihat saja saat beberapa waktu yang lalu membahas mesalah aspirasi, salah satu fraksi bahkan sangat ngotot untuk menggolkan kebijakan yang juga disebut fork barrel (genting babi) itu. Kemanakah mereka?Entahlah, disaat rakyat menderita dengan tingginya harga bahan pokok, ledakan tabung gas yang kian marak, mereka malah melakukan tindakan yang sungguh tidak mencerminkan sebagai seorang pelayan rakyat.

Jumat, 23 Juli 2010

Refleksi HARI ANAK NASIONAL…..



Oleh Imam Solehudin

Potret anak Indonesia selalu menampilkan wajah yang berlainan, di satu sisi, kesejahteraan calon tunas bangsa itu diselimuti kekhwatiran. Indikatornya dapat terlihat dari jumlah anak putus sekolah yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Padahal aspek pendidikan sangat berpengaruh terhadap masa depan mereka. Keterbatasan ekonomi menjadi penyebab nomor wahid, mereka tak kuat dengan biaya sekolah yang mencekik. Alih-alih sekolah, mereka lebih memilih “terjun” ke jalanan untuk mencari nafkah, entah itu mengamen ataupun meminta-minta. Mungkin bagi anda yang tinggal di kota-kota besar, pemandangan para anak jalanan menjadi suatu hal yang lumrah. Sebagai contoh kota Bogor, hamper disetiap pertigaan jalan utama, pengemis, gelandangan, dan pengamen selalu menghiasi sepanjang jalan. Kita tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja, karena apa yang dilakukan oleh mereka memang sangat berasalan, yakni menyambung hidup. Pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar terhadap nasib mereka. Pasal 34 dalam UUD 1945 mengatakan bahwa, “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negera”. Sayang, implementasinya sangat jauh dari kata berhasil. Yang terjadi justru adalah penelantaran. Soal anak jalanan misalnya, upaya yang dilakukan sejauh ini kurang efektif, hanya semacam shock therapy seperti razia. Tindakan-tindakan yagn bersifat mentorship (pembinaan) masih minim. Jika pun dilakukan pembinaan, hanya sekedar penyuluhan sehingga setelah itu mereka kembali lagi kejalan. Hal tersebut terus berulang-ulang sampai sekarang. Seharusnya, pemerintah dalam hal ini departemen social, mengubah pola pembinaan bagi anak jalanan. Harus diupayakan long term mentorship (pembinaan jangka panjang) agar ketika mereka selesai dibina, mereka tidak turun kembali ke jalan. Semoga dengan peringatan anak untuk kesekian kalinya, para tunas bangsa Indonesia bisa lebih baik, terutama dalam pendidikan

Jumat, 16 Juli 2010

Pemerintah “Perpanjang” Derita Rakyat




Oleh: Imam Solehudin

Setelah pemerintah menaikan tarif dasar listrik (TDL), kini rakyat kembali menanggung derita. Menjelang memasuki bulan ramadhan harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang cukup mencekik Berdasarkan data kompas senin (12/7) kemarin, harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak, telur, dan sayuran naik bervariasi, mulai dari 40%-100%. Persoalan mengenai hal ini sudah seperti tradisi. Entah kenapa, di setiap memasuki bulan ramadhan harga-harga kebutuhan pokok selalu naik drastis. Pemerintah selalu “kesiangan” dalam mengantisipasi kenaikan kebutuhan pokok, terlebih saat memasuki bulan ramdadhan. Antisipasi yang dilakukan pemerintah dalam mengontrol harga pasar belum efektif. Terbukti, harga-harga kebutuhan pokok bervariasi di setiap daerah. Tak pelak ini membuat derita rakyat semakin berkepanjangan. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok akan berdampak besar terhadap masyarakat ekonomi menengah kebawah. Daya beli masyarakat dipastikan akan menurun karena tingginya harga bahan pokok. Pemerintah terkesan seperti berpangku tangan melihat kondisi seperti ini, mereka kurang reaktif dalam melihat realita yang terjadi sekarang. Sampai kapan rakyat menanggung derita?. . Rasanya penderitaan rakyat tidak pernah berakhir. Masih hangat di benak kita, ledakan tabung gas yang terjadi berbagai daerah di tanah air. Belum sempat menghela nafas, mereka harus kembali dihadapkan pada persolalan yang berat.
Wahai para wakil rakyat!
Para Pejabat!
Sampai kapan penderitaan rakyat mu ini akan berakhir?, Kami merindukan janji-janji manismu ketika berkampanye dulu. Kami merindukan kobaran semangat mu ketika berorasi. Kami merindukan realisasi visi misi saudara……………
Mana Janjimu???????????

Kamis, 15 Juli 2010

Perpeloncoan…..


Oleh: Imam Solehudin
Tahun ajaran baru. Sebuah momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap siswa. Seragam baru, buku baru, dan sejumlah hal-hal lainnya selalu identik dengan tahun ajaran baru. Khusus bagi mereka yang beralih jejang sekolah, entah itu sd, smp, atapun sma, ada semacam tradisi pengenalan sekolah, atau lazim disebut Masa Orientasi Siswa (MOS). Kita tentu sering melihat, seorang siswa mengenakan perlengkapan sekolah yang tidak seperti biasanya, seperti tali sepatu yang terbuat dari rafia, rambut yang diikat dengan pita berwarna-warni bagi siswi, bahkan tas dari karung beras, bisa dipastikan mereka sedang menjalani MOS. Tradisi yang diberlakukan di hampir setiap sekolah ini sebenarnya sangat bagus terhadap siswa-siswi baru, terutama untuk proses adaptasi terhadap sekolah dan teman baru. Melalui MOS, mereka bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Biasanya kegiatan MOS lebih ditikberatkan pada membangun chemistry antara sesama siswa baru, serta dengan siswa lama (senior).
Sayang, di beberapa sekolah justru ajang ini dipakai sebagai “pelampiasan” (perpeloncoan) senior kepada junior. Junior dijadikan objek perpeloncoan, baik itu bersifat fisik maupun non fisik, misalnya diberikan hukuman yang tidak wajar atau dibentak-bentak. Tak ayal tujuan MOS yang tadinya untuk membantu proses adaptasi siswa baru terhadap sekolah seolah berubah menajadi “lahan” perpeloncoan. Tindakan seperti ini sangat beresiko terhadap kondisi psikologis para siswa, mereka bisa terkena trauma sehingga nantinya bisa berdampak pada proses belajarnya dikemudian hari. Sekolah sebagai institusi yang berwenang, sudah semestinya harus mengwasi lebih ketat disetiap penyelenggaraan MOS. Kontrol ini diperlukan terutama untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang mengarah pada kekerasan terhadap siswa.

Kamis, 08 Juli 2010

Wacana Pemberian Senjata Terhadap Satpol PP: (Bukan) Senjata Api, Tapi Komunikasi


Oleh Imam Solehudin

Pada akhir bagian film spiderman ada sebuah pernyataan yang sangat mendalam dari sang manusia laba-laba . Spiderman mengucapkan kalimat, in great power comes great responsibility (sebuah kekuatan besar akan mendatangkan tanggung jawab yang besar pula). Ketika seseorang diberikan kekuatan (kekuasaan) yang besar, secara otomatis dia mempunyai tanggung jawab yang besar pula terhadap kekuasaan yang disandangnya. Kutipan tersebut nampaknya tepat dengan wacana yang berekembang sekarang ini, mengenai pemberian fasilitas senjata terhadap satuan polisi pamong praja (satpol pp). Seperti yang diutarakan oleh menteri dalam negeri, Gamawan Fauzi, belum lama ini, kedepan satpol pp dalam melaksanakan tugasnya akan dibekali senjata. Meskipun senjata yang digunakan berjenis gas, hal ini menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat. Ada yang menyatakan, kebijakan itu belum diperlukan oleh satpol pp, sebab dikhawatirkan bisa menimbulkan tindakan represif. Sedangkan yang menyetujui berpendapat bahwa pemeberian senjata dirasa perlu mengingat tugas satpol pp yang begitu penuh resiko.Wacana yang digulirkan mendagri mengenai pemberian senjata kepada satpol pp rasanya belum diperlukan. Sebab, Tugas mereka pada dasarnya lebih kepada mengawasi pelaksanaan peraturan daerah (perda), aritnya setiap tindakan pelanggran yang dilakukan masyarakat hanya bersifat ringan. Lainnya halnya dengan polisi yang bertugas melakukan pengawasan dan penegakan terhadap tindakan kriminal. Kalau pun dalam keadaan urgent, masih ada aparat polisi dan TNI .
Pada dasarnya, satpol pp tidak dipersiapkan untuk menjadi penegak hukum criminal seperti halnya TNI dan Polisi. Mereka hanya bertugas menjadi mitra pemerintah dalam mengawasi pelaksanaan perda. Sehingga otoritas penegakan hukumnya lebih ringan dibandingkan aparat lainnya. Dibandingkan mempersenjatai sapol pp. pemerintah seharusnya lebih meningkatkan kompetensi mereka, diantaranya mengenai keterampilan komunikasi dan mentalitas. Tidak bisa dipungkiri bahwa tugas dari satpol pp bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sering kali kita melihat ketika satpol pp melakukan tugas, misalnya melakukan razia atau penertiban. Mereka kurang mampu dalam berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif, teknik komunikasi yang mereka gunakan lebih cenderung mengarah kepada tindakan represif, bukan persuasif. Ketidakmampuan dalam melakukan diplomasi terhadap masyarakat, membuat satpol pp mengalami kendala ketika menjalankan tugasnya, akibatnya terjadi miss komunikasi yang berujung pada kekisruhan. Senjata yang harus dimiliki satpol pp adalah komunikasi, komunikasi yang mampu memberikan ketenangan terhadap masyarakat serta menciptakan win-win solution.

Rabu, 07 Juli 2010

Lagi…..Kekerasan Terjadi Di Dunia Pendidikan


Oleh Imam Solehudin

Kekerasan di dunia pendidikan Indonesia belum juga sirna, setelah kasus penyiksaan terhadap salah seorang mahasiswa IPDN (Instiut Pemerintahan Dalam Negeri) dan kekerasan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP). Kini, hal itu terulang kembali, kali ini terjadi pada Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tanggerang, Banten. Kasus ini sebenarnya terjadi pada maret 2010 lalu, namun baru terungkap kemarin, setelah adanya video mengenai penganiayaan itu beredar dan ditayangkan di salah satu stasiun swasta nasional . Dalam video tersebut terlihat empat orang taruna menganiaya para juniornya, mulai dari pukulan hingga tendangan. Mereka memperlakukan juniornya seperti binatang, sangat tidak manusiawi. Sungguh miris memang, di tempat yang mengajarkan budi pekerti serta ilmu,, terjadi penganiayaan.
Kejadian ini menandakan bahwa reformasi pendidikan di negeri kita, terutama di sekolah berstatus ikatan dinas belum juga mengalami perbaikan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan senior terhadap junior. Kita tentunya masih ingat bagaimana kekerasan yang terjadi di IPDN pada medio april 2007 lalu, saat salah satu prjanya, Clift Muntu tewas dianiaya oleh seniornya. Awalnya pihak institusi menolak mengatakan bahwa Clift tewas akibat dianiaya. Setelah dilakukan otopsi, polisi menyatakan bahwa taruna tersebut tewas akibat pukulan.
Bila kita cermati bersama, sekolah berstatus ikatan dinas, mayoritas menerapkan sistem pendidikan semi militer. Disini, unsur senioritas sangata kental, otoritas mereka sangat besar kepada juniornya. Kekuasaan inilah yang menjadi faktor utama terjadinya penganiayaan. Para senior seolah menuntut juniornya untuk sesempurna mungkin dalam mematuhi peraturan, jika salah resikonya bisa fatal. Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh taruna STPI misalnya, diduga kuat terjadi gara-gara juniornya melakukan kesalahan saat melakukan baris-berbaris. Sistem semi militer memang sangat baik diterapkan dalam dunia pendidikan, terutama untuk membentuk karakter kedisiplinan seseorang. Namun jika disertai punishment yang tidak wajar sepreti pada kasus-kasus diatas, jelas ini sebuah kekeliruan. Selama ini, tindakan perploncoan terhadap junior telah menjadi sebuah tradisi sehingga sulit untuk dihilangkan.
Optimalisasi pengwasan terhadap sekolah menjadi syarat mutlak yang harus diperhatikan, karena tidak mungkin senior berani menganiaya juniornya jika tidak ada kesempatan. Pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap sekolah kedinasan, terutama menyangkut sistem pendidikan. Bukankah mereka dididik untuk menjadi seorang pemimpin yang nantinya terjun ke masyarakat?. Apa jadinya, jika model pendidikan “kekerasan” itu diberikan kepada mereka?.

Senin, 05 Juli 2010

Menanti Sang Nahkoda KPK


Komisi Pemberantasan Korupsi, sebuah nama yang cukup membuat para koruptor merinding. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, KPK memiliki kewenangan yang cukup luas dalam memberangus para "pencuri kekayaan negara". Lewat KPK sebagian tersangka korupsi berhasil diadili. Salah satu prestasi KPK adalah ketika berahasil ,menahan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Tantowi Pohan,yang notabene besan presiden SBY. Pohan ditahan bersama tiga rekannya sesama mantan Deputi Gubernur BI, yaitu Bunbunan EJ Hutapea, Maman Soemantri, dan Aslim Tadjuddin. Penahanan terkait kasus aliran dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dan BI tahun 2003 (antikorupsi.com).
Sayang ditengah gencarnya pemberantasan korupsi, Institusi penegak hukum itu kini tengah mengalami lesu darah. Hal itu terkait banyaknya kasus serta kriminalisasi yang dilakukan terhadap pimpinan KPK, mulai dari konflik POLRI vs KPK, hingga kasus pembunuhan Nasrudin yang melibatkan Big Bos KPK, Antasari Azhar. Pelaksana tugas (PLT) ketua KPK pun, Tumpak Hatorangan tidak bisa bekerja optimal, sebab hanya menjadi ketua sementara, dan sekarang dia tidak lagi menjabat sebagai ketua KPK. Praktis, jabatan ketua kini menjadi kosong. Masalah yang menimpa paran pimpinan KPK tersebut membuat kinerja pemebrantasan korupsi menjadi tidak optimal.
Tanggal 25 Juni kemarin, MENHUKAM Patrialis Akbar, secara resmi mengumumkan pembukaan pendaftaran ketua KPK. Antusiasme masyarakat cukup besar, terbukti peserta yang mendaftar sangat banyak. Pendaftar berasal dari berbagai kalangan, mulai dari advokat, pengusaha, hingga PNS. Kekhawatiran sempat muncul ketika tidak adanya sosok yang yang familiar dan memiliki track record mumpuni untuk mengurusi KPK. Namun, masyarakat akhirnya bisa bernafas lega ketika Busyro Muqodas, mantan ketua Komisi Yudisial, serta anggota dewan pertimabangan presiden (watimpres), Jimly Ash-Shiddiq ikut mendaftar. Mereka diprediksi berpeluang besar menjadi KPK 1. Lalu figur seperti nahkoda baru KPK apa yang diinginkan masyarakat?. Masyarakat tentunya sangat berharap pimpinan KPK nantinya memiliki loyalitas serta integritas dalam mengawal pemerintah. Ketua KPK harus berani dalam memberantas pelaku korupsi kelas kakap, singkatnya tak pandang bulu, jangan hanya maling kelas teri saja yang diusut, Sebuah tugas maha berat memang bagi siapapun yang nantinya menjabat. Semoga pemimpin KPK yang baru, mampu membawa perubahan besar terhadap masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Minggu, 04 Juli 2010

Menunggu Kumandang “Indonesia Raya” di Piala Dunia


Ada dua peristiwa dimana lagu kebangsaan sebuah negara dinyanyikan di negara lain, pertama ketika para pejabat melaksanakan kunjungan ke negara lain, atau menjadi tamu kehormatan suatu negara. Kedua adalah saat dimana seorang atlit meraih prestasi di sebuah event Internasional. Sebuah kebanggan tersendiri tentunya, ketika lagu kebangsaan sebuah negara dinyanyikan di negara lain, hal ini menandakan bahwa negara tersebut diakui dan berdaulat.
Dalam sebuah pertandingan sepakbola resmi antar negara, entah itu kompetisi ataupun hanya sebatas persahabatan, ritual menyanyikan national anthem (lagu kebangsaan) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah pertandingan, tak terkecuali piala dunia. Seandainya saja Indonesia bisa tampil di Afrika, mungkin kita bisa mendengarkan lagu ciptaan WR Supratman tersebut berkumandang. Sayang, impian itu belum juga tercapai karena pada penyelenggaraan piala dunia kali ini, timnas kita kembali harus menjadi penonton, setelah gagal melewati fase kualifikasi.
Kapan Indonesia masuk piala dunia?. Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini masih belum bisa terjawab oleh insan sepakbola di tanah air, baik itu PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) selaku institusi yang berwenang, maupun pemain timnas (tim nasional) kita. Sejak gelaran pertama piala dunia yang diselenggarakan di Uruguay tahun 1930, Indonesia belum pernah mengikuti piala dunia.
Memang, tahun 1938 Indonesia sempat menjadi kontestan piala dunia untuk pertama kalinya, namun waktu itu masih dibawah bendera Hindia-Belanda. Secara de facto, Indonesia memang ambil bagian dalam piala dunia 1938, namun dari sisi de jure, negara kita bisa dikatakan belum berpartisipasi karena masih “numpang” atas nama Hindia-Belanda.
Masyarakat kita tentunya sangat menantikan timnas Indonesia berlaga di ajang sepakbola terbesar sejagat tersebut dengan membawa bendera merah putih. Kita pastinya akan bangga, ketika kapten kesebelasan timnas bertukar cideramata (bendera) dengan tim sepakbola lawan, serta melihat para pemain timnas menyanyikan lagu Indonesia Raya di piala dunia. Bravo Sepakbola Indonesia!=MAM