AyankMams

AyankMams

Minggu, 07 Maret 2010

Koalisi “Kebenaran”
Oleh Imam Solehudin
Entah sampai kapan pansus selesai menguak tabir kasus bailout bank century. Hingga tiga bulan masa kerja pansus, belum ada titik terang soal penyelesaian dana talangan bank sebesar 6,3 triliun itu. Justru yang terjadi malah sebaliknya, fraksi ـ fraksi yang ada di pansus kini terpecah menjadi dua kubu, pertama yang menyatakan bahwa pengucuran dana talangan century sudah sesuai dengan prosedur dan tidak melanggar. Kelompok ini diwakili oleh fraksi partai demokrat (FـPD), fraksi partai kebangkitan bangsa (F־PKB),dan fraksi partai persatuan pembangunan (F־PPP). Sedangkan enam fraksi lainnya seperti, PDIP, Hanura, Gerindra, Golkar, PKS, dan PAN bersepakat bahwa, telah terjadi pelanggaran terhadap pengucuran dana bailout century. Hal terebut diungkapkan dalam laporan kesimpulan sementara fraksi, terhadap kasus century beberapa waktu yang lalu.
Ada yang menarik disini, beberapa partai yang notabene berkoalisi dengan pemerintah, yakni fraksi PKS, PAN, Golkar, memiliki pandangan bertolak belakang dengan mitra koalisi mereka, yakni partai demokrat. Ketiga fraksi itu tetap berpendapat bahwa ada banyak indikasi pelanggaran pada proses bailout terhadap bank yang kini sudah berganti nama menjadi bank mutiara tersebut, oleh kubu pemerintah mereka dicap “membelot” terhadap pemerintah, sehingga sepertinya ingin menjatuhkan pemerintahan. Indikasi itu terlihat ketika mereka menyampaikan argumenـargumen soal century yang menyatakan bahwa mantan gubernur Bank Indonesia serta mantan ketua KSSK (Komite Strabilitas Sistem Keuangan), Boediono dan Sri Mulyani harus bertanggung jawab terhadap kasus ini. Pandanganـpandangan yang dilontarkan ketiga fraksi itu membuat gerah sejumlah para petinggi partai demokrat, mereka mendesak agar presiden SBY melakukan perombakan kabinet. Alasannya, mitra kolalisi partai yang sekarang dinilai sudah tidak loyal lagi terhadap pemerintah, mereka seolah־olah berjalan masing־masing, tidak sejalan lagi dengan pemerintah. Isu reshuffle kabinent pun mencuat, sejumlah nama־nama menteri diisukan akan diganti, seperti Siswono (menteri pertanian), Fadel Muhammad (menteri kelautan), dan Zulkifli Hasan (menteri kehutanan).
Pertanyaanya sekarang adalah apakah mungkin SBY melakukan perombakan kabinet yang baru seumur jagung ini?. Kebijakan reshuffle merupakan hak prerogratif presiden dan telah diatur dalam undangـundang. Intervensi dari partai seharusnya tidak perlu dilakukan, karena dalam hal ini SBY bukanlah sebagai pimpinan partai, melainkan pimpinan negara, artinya presiden dalam hal ini harus objektif dalam melakukan penilaian dan tidak mengambil keputusan karena atas desakan beberapa pihak, sehingga keputusan yang diambil bukan karena adanya unsur politis. SBY pun nampaknya harus berpikir ulang jika memang memutuskan untuk melakukan perombakan kabinet, bila itu terjadi masyarakat pasti akan menduga ada unsur politis dibalik pengambilan keputusannya. Selain itu, rakyat akan menilai bahwa SBY tidak konsisten dalam mengambil keputusan. Hal ini karena dalam sebuah pidato kenegaraaan yang disampaikannya beberapa waktu lalu, mengenai evaluasi 100 hari kinerja pemerintahannya, secara jelas presiden mengklaim bahwa seluruh menteri kabinet Indonesia Bersatu II, telah berhasil melaksanakan program kerja 100 hari dengan hasil sangat memuaskan, tak terkecuali menteri ـmenteri yang berasal dari ketiga parpol yang berbeda pandangan dengan pemerintahan (Golkar, PKS, dan PAN).
Dalam kehidupan berdemokrasi, berkoalisi adalah suatu hal yang penting dalam upaya memperkuat posisi pemerintah, tak terkecuali di parlemen. Sebuah partai yang memutuskan untuk berkongsi dengan pemerintah memang harus memiliki komitmen untuk menjadi pendukung pemerintah, namun bukan berarti sebuah koalisi harus tunduk dan patuh secara mutlak menuruti setiap kebijakan yang dibuat, karena tujuan dari berkoalisi haruslah semataـmata untuk mencipatakan pemerintahan yang bersih. Artinya, jika pemerintah melakukan kesalahan maka pihak koalisi harus berani membongkarnya. Ini sebenarnya yang sering dilupakan, kesepakatan yang terjalin hanya untuk kekuasaan semata dan memperkuat bargaining position saja dimata rakyat, mereka lupa bahwa tugas berkoalisi bukan hanya untuk memperkuat otoritas Negara, melainkan melakukan controlling (pengawasan) terhadap jalannya pemerintahan, sehingga akan tercipta sebuah keseimbangan di dalam pemerintahan (good governance).

0 komentar:

Posting Komentar